SIXTEEN ||

894 60 0
                                    

Bagian Enam Belas

"Sabtu sore kamu ada jadwal sama mbak Rori, jangan lupa lho. Kalau ada jadwal apa-apa sama temenmu, batalin aja dulu atau pindah ke hari lain."

Dhania yang telah mengganti seragam sekolahnya dengan kaus oblong lengan panjang dan celana selutut itu mendesah kesal, mengingat perkataan Bapak tadi, saat menjemputnya. Ia kesal lantaran jadwal pertemuannya dengan seorang psikolog diundur, yang semestinya hari rabu, kini diundur hari sabtu. Dimana, seharusnya dia bersantai menikmati weekend, bukan untuk menyambangi psikolog sekaligus guru privat itu.

"Ih, nyebelin! nyebelin!" gusarnya, dengan kejam ia menggocoh guling yang tak bersalah itu. Sebelumnya, ia sempat melempar pandangannya ke kalender.

Terhitung, sudah hampir empat tahun ini dia rutin mengunjungi psikolog setiap beberapa bulan sekali, untuk berkonsultasi dan melakukan sesi curhat.

Bosan? Tidak, lebih tepatnya tidak boleh bosan. Untung saja Dhania bebas memilih psikolog pilihannya, selama empat tahun ini ia hanya berganti psikolog dua kali. Itu mungkin cukup menjadi bukti kalau dia tidak bosan.

Selepasnya Dhania meratapi nasibnya, ia mulai beranjak dari kasurnya yang kondisinya mengenaskan, alias berantakan. Melangkah keluar dari kamarnya, menuju loteng rumah, sebelum pandangannya jatuh di dua frame foto yang ada di dekat meja belajarnya.

"Rindu..." gumamnya sambil memegang frame foto. Air matanya menetes tepat di wajah yang ia rindukan.


__________


"Nduk, makan dulu. Ibu masak cumi hitam lho," ucap Ibuk saat ia melewati meja makan. Ia yakin kalau anaknya itu tidak akan menolak, karena mengingat cumi adalah makanan favorit Dhania.


Lain pikiran dengan anaknya yang tak berselera makan. Dhania tidak berani untuk menolaknya, karena kalau ia menolak, Ibuk pasti akan mengomel tentang bahaya penyakit maag yang dideritanya sejak SMP itu.

Dengan langkah enggan ia mendekati meja makan. Di sana ada Bapak, Ibuk, Naura, dan si bungsu, Ibrahim. Mereka tengah menikmati makan malam masing-masing.

"Kamu mau tidur di loteng?" tanya Ibuk seraya menyerahkan piring berisi nasi.

"Buk, nasinya kebanyakan!" protes Dhania, tak ingin menjawab pertanyaan Ibuk. Lebih tepatnya ingin mengalihkan pembicaraan.

"Heh, kamu ini makan kok dikit banget. Makan yang banyak, biar agak berisi tubuhmu. Masa kata dik Fa, kamu kelihatan kurus sih. Ibuk kan ndak terima jadinya," sahut Ibuk bersungut-sungut.

Dhania memutar bola mata malas. Terserahlah apa kata Ibuk, ia menurut saja. Toh, untuk berontak lagi pun percuma.

"Oh iya, kamu mau tidur di loteng?" tanya Ibuk, sekali lagi.

Dhania yang tengah memperhatikan dua adiknya yang kebetulan rukun itu langsung menghela napas.

"Enggak. Aku mau ngambil buku." elak Dhania, bohong.

"Buku apa lagi? Bukannya buku pelajaran kamu ada di kamar semua? Ibuk lihat di rak, semuanya ada disana." tutur Ibuk, masih tak menyerah.

"Kenapa sih buk!" dengus Dhania, mendadak emosi.

"DHANIA!" marah Bapak, tesulut emosi. "Kamu tuh ya, nggak bisa ngomong baik-baik sama ibukmu, hah?! Anak kurang ajar." Lanjutnya dengan emosi meledak.

Dhania langsung membisu, ia sudah tak berselera makan namun dirinya berusaha menghabiskan makanannya dengan hati dongkol.


_________


Seusai makan malam, Dhania membawa piringnya ke tempat cuci piring bersama piring kotor lainnya. Sedangkan Ibuk membersihkan meja makan dari sisa-sisa makanan Naura dan Ibra.

"Nduk,"

Dhania mengusap air matanya dengan cepat, ia nggak mau ibuk melihatnya menangis seperti itu.

"Ibuk minta maaf ya, maafkan bapak juga.."

Tetap bergeming, dia melanjutkan kegiatan mencuci piringnya dengan sesekali mengusap hidungnya yang beringus. Bukan karena flu, tapi karena menangis.

"Udahlah buk, gak usah ngomongin bapak lagi." sahutnya, tak tahan.

"Mau sampai kapan toh, nduk?"

Dhania menoleh sesaat, lantas kembali sibuk membilas piring. Ia tahu sekali arah dari pembicaraan Ibuk itu.

"Mau sampai kapan kamu saling diam sama bapakmu?" tanya Ibuk, dengan berjalan mendekati Dhania yang menunduk.

"Ibuk ngerti kamu kecewa sama bapak, marah sama bapak, tapi nggak gini caranya, nduk." tutur Ibuk, tangannya mengusap bahu anaknya lembut.

"Diam, nggak akan nyelesaiin apapun, bahkan nggak akan ngebuat kamu lupa sama ma--"

Dhania mempercepat gerakan mencuci piringnya, hingga selesai ia mencoba menulikan telinga. "Kalau aja dulu bapak bisa lebih cepat datang ke rumah sakit dan mas Aiman segera di tangani oleh dokter, mungkin dia masih ada disini sekarang, Buk...

Mungkin dia akan bela aku saat Bapak tiba-tiba ngubah jadwal pertemuan sama mbak Oyi. Dan, dia akan akan ak..." suara Dhania mulai terdengar parau, air matanya sudah meleleh membasahi pipinya. Semua yang ia sembunyikan selama ini keluarlah sudah, segala rasa sedih yang dipendam sendiri.

Ibuk mendekati Dhania, lantas menarik kepalanya untuk disandarkan pada bahunya.

"Ini bukan salah bapak, Nduk. Bukan salah siapa-siapa, ini takdir Allah." tangis Ibuk ikut pecah kala dirinya mengingat kejadian yang merengut nyawa anak pertamanya.

"Aku rindu mas Aiman, Buk. Kenapa Allah ngambil mas lebih cepet, padahal banyak yang sayang sama dia di dunia ini, kenapaaa?"

"Karena Allah lebih sayang sama masmu, Nduk. Udah ya, kamu yang tenang.."


Bersambung


Dear Ketua RohisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang