SEVENTEEN ||

998 54 0
                                    



Bagian Tujuh Belas

"Udah, kamu bisa beres-beres sekarang." ucap mbak Rori seraya merapikan buku catatan kecil beserta laptopnya.


Dhania mengangguk samar. Namun, ia tidak untuk melaksanakan perintah dari psikolognya itu-membereskan buku-bukunya yang berserakan di meja- melainkan, ia malah mengeluarkan smartphone-nya, dan membuat psikolog muda itu menghela napas dengan menggeleng-gelengkan kepala.

"Kamu udah makan belum?" tanya mbak Rori, sembari memperhatikan muridnya yang tengah asik bercengkerama dengan smartphone.

"Makan malem belum sih, mbak." jawabnya dengan cengar-cengir, menatap wajah cantik perempuan yang mengenakan kemeja dan celana bahan di depannya.

Mbak Rori tersenyum miring dengan tangan memegang laptop, yang diatasnya ada tumpukan buku.

"Ya udah, kamu beres-beres. Nanti mbak lihat dulu, di dapur ada apa. Oke?" ucap mbak Rori, yang akhirnya beranjak dari tempat duduknya.

"Oke!" angguk Dhania.

Tak lama kemudian, mbak Rori datang membawa nampan berisi dua mangkuk yang mengeluarkan uap dan bau harum khas dari bumbu rempah-rempah.

"Makan. Cuma ada ini aja, tadi sebelum balik, bibi masakin soto buat makan malem." ucap mbak Rori, ramah.

Ini alasannya, kenapa Dhania tidak mau ganti psikolog lagi. Selain mbak Rori ramah, dia juga baik. Dia juga sudah seperti kakaknya sendiri, sering juga Dhania merayu mbak Rori agar tidak mengadu pada bapak, tentang dirinya yang badung saat diajari dan yang penting, dia tidak bocor soal dia yang sering kali bolos.

Sebenarnya, alasannya dulu ganti psikolog bukan karena tidak suka, melainkan psikolognya itu pulang kampung, untuk menjadi pahlawan tanpa jasa di sekolahnya dulu.

"Makasih mbak." senyum Dhania merekah, wajahnya berseri menatap isi mangkuk.

"Iya iya," angguk mbak Rori.

"By the way, orang tua mbak Oyi masih di luar kota nih?" tanyanya, dengan mulut sibuk mengunyah daging sapi.

Mbak Rori mengangguk, "Iya, baru besok mereka pulang,"

Seusai menyantap makan malam bersama mbak Rori, smartphone Dhania berdering.

"Pak Taufan, Dek?"

Dhania melirik smartphone-nya, dengan was-was.


Rhea calling...


Dhania menggeleng seraya menurunkan smartphone dari atas meja. "Bukan mbak,"

"Oh... Eh, dek, mbak lupa kalau ada deadline tugas nih. Jadi ngga bisa nganterin kamu pulang. Gimana? Apa mbak telpon pak Taufan aja,"

"Gak usah mbak, gak papa. Aku minta jemput, sama temen.."

"Okey deh, jangan mlipir kemana-mana ya, awas lho!" ancamnya.

"Ah, enggaklah mbak.. langsung balik kok. Beneran !"

"Pinter!"

Dhania tersenyum penuh kemenangan.

Setelah mbak Rori menghilang dari ruangan, ia me-reject telpon dari Rhea. Lantas jari-jarinya menari diatas keyboard.


Dear Ketua RohisWhere stories live. Discover now