TWENTY ONE ||

1K 50 8
                                    

Bagian dua puluh satu

Drrrt... drttt...

Smartphone Madani bergetar dalam saku jaketnya, segera ia mengambilnya. Dilihatnya, sebuah pesan masuk menggunakan nomor asing.


PAV. Abimanyu

Kamar A2, dari tempat lo berdiri jalan terus, lalu belok kanan, masuk ke bangunan yang ada disana, naik lift....

Sontak kepala Madani mendongak, saat ia membaca barisan huruf di layar smartphone-nya, lantas matanya berpendar menatap sekelilingnya. Tak ada yang mencurigakan. Akhirnya, ia memilih untuk tak membalas pesan tersebut, melainkan melanjutkan perjalanannya. Namun, pikirannya terus saja melanglang, bertanya-tanya, siapa pengirim pesan tersebut. Si Septyan kah? Atau, Nadine kah? Atau siapa pun itu, Madani akan berterima kasih.

Setibanya di depan pintu ruang inap bertulisan A2, berbekal dari pesan misterius tadi, ia memberanikan diri untuk mengetuk pintunya. Yang sebelumnya, didahului dengan ucapan bismillah.


Tok... Tok... Tok...


"Aaa--"

Klik. Pintu terbuka setengah, menampakan seorang pria paruh baya bertubuh gempal, menyembul dari baliknya. Membuat Madani sedikit kaget, atau mungkin banyak, karena mendadak keringat dingin keluar dari pelipisnya. Ah, mungkin itu karena berjalan jauh ke Paviliun Abimanyu.

"Siapa?" tanyanya, yang terkesan mengintimidasi.

Madani tergagap, mulutnya seperti dilem, namun dengan sekuat tenaga ia berusaha mengeluarkan suaranya,  "Assalamu'alaikum, be-narkah, ini kamar Halwatuzahra Ramadhania?" akhirnya, dia bersuara.

Pria paruh baya tersebut mengangguk sembari menjawab salamnya lirih.

"Kamu siapa?"

"Madani, saya Madani."

"Saya tidak tanya namamu, nak. Siapanya anak saya kamu, hum?"

Madani tertawa kaku, sembari mengusap tengkuknya malu, "Saya teman satu kelasnya Halwa, bolehkah saya mengunjunginya? Tadi saya masih ada urusan, jadi tidak bisa datang bersama teman sekelas. Sekalian, saya juga mau memberi tahu Halwa tentang tugas kelompok." jelasnya, dengan santun.

"Oh." responnya, singkat, padat, dan J-E-L-A-S!

Madani mematung di tempatnya, ibarat robot, ia menunggu intruksi berikutnya dari tuannya, dengan mata berkedip-kedip imut.

"Tetapi, jam kunjungannya tinggal.... kurang lebih setengah jam lagi," ucap si pria paruh baya, kemudian.

"Tidak apa-apa, lagipula saya hanya sebentar."

"Baiklah, silakan masuk." final Taufan, setelah menimang-nimangnya cukup lama.

Madani berjalan tepat di belakang pria paruh baya, yang diyakininya adalah ayah Dhania. Karena, ada satu kesamaan yang tertangkap oleh indra penglihatannya, yaitu sorot matanya yang tajam.

"Nduk, ada temanmu. Bangun," Taufan menepuk lengan anaknya, yang terlelap setelah menonton TV.

"Umm, sepa?" gumamnya, tak jelas. (Siapa)

"Mangkane tangio rah," suruh bapak, "Kamu lungguho kunu, le." bapak menyuruh Madani duduk di kursi sebelah brankar Dhania, yang langsung dibalas anggukan.

Dear Ketua RohisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang