4 - Apa Pun Selain Musik

2.4K 371 38
                                    

"Lo kenapa, sih? Dari tadi tampangnya kayak orang banyak utang." Pergerakan super lincah jemari Ranum yang sedang menyalin PR Cendana sejenak terjeda setelah menangkap mimik aneh teman duduknya itu.

Cendana tidak merespons. Ia tidak mungkin berterus terang tentang apa yang sedang mengacaukan pikirannya hingga tampak linglung. Ia memikirkan Jati. Mengkhawatirkan lebih tepatnya. Karena tidak berangkat bareng, ia jadi berpikiran yang tidak-tidak. Kenapa dia terlambat? Atau jangan-jangan malah sakit dan hari ini nggak masuk? Monolog dalam kepalanya membuat Cendana semakin tidak tenang.

"Dana, serius, deh, lo kenapa, sih? Tiba-tiba dapet dan nggak bawa pembalut?" Ranum merenggangkan jemarinya setelah selesai menyalin jawaban Cendana tepat waktu.

Cendana menggeleng tegas. Ia memikirkan sesuatu yang bisa membawanya ke ruang guru demi memastikan Jati masuk atau tidak. Kenapa juga harus sekhawatir ini?

"Thanks, ya. Besok-besok janji, deh, nggak pake acara lupa lagi ngerjain PR." Sambil nyengir, Ranum pura-pura memasang tampang bersalah. Entah kali keberapa ia berakting seperti itu. "Makan siang nanti, gue yang traktir," imbuhnya. Kalimat pelengkap yang tidak pernah ketinggalan di saat-saat seperti ini.

"Ran, kamu nggak ada perlu apa, gitu, ke ruang guru?" Cendana akhirnya bersuara.

"Ruang guru? Maksudnya?" Ranum mengernyit.

"Eh, nggak. Lupain aja." Cendana pura-pura merapikan dasinya. Ia sendiri bingung dengan pertanyaannya tadi. Ia hanya butuh memastikan keberadaan Jati.

Bel masuk berdering. Satu per satu penghuni kelas XII IPA 2 tiba di tempat duduk masing-masing. Cendana sedang mencoba mengalihkan pikiran dengan membaca materi di buku paket Bahasa Indonesia yang akan dibahas sebentar lagi, ketika Iko-sang ketua kelas-lewat di samping mejanya.

"Eh, kamu mau ke mana?" spontan Cendana, yang sukses menghentikan langkah cowok berkacamata itu. Cendana tahu, Iko bukan tipe orang yang keluar kelas sesaat sebelum pelajaran dimulai kalau bukan untuk hal penting yang berkaitan dengan proses belajar mengajar.

"Mau ke ruang guru ngambil kertas karangan yang kemarin. Tadi Bu Melda pesan."

Senyum Cendana terbit. Dugaannya benar. "Aku temani, ya," tawarnya penuh semangat dan sudah bangkit dari tempat duduknya sebelum Iko mengiyakan. Ia malah berjalan ke arah pintu lebih dulu. Iko dan Ranum bertukar pandang, lalu sama-sama mengedikkan bahu. Keduanya gagal paham.

***

Cendana tiba lebih dulu di ruang guru dibanding Iko. Tak mau menyia-nyiakan kesempatan, tatapannya langsung mengarah ke meja paling sudut yang diyakininya sebagai meja Jati. Sayang, pemilik manik cokelat gelap itu tidak ada di sana. Cendana lantas menyapukan pandangan ke segala penjuru. Bahunya merosot perlahan karena tidak menemukan sosok yang dikhawatirkannya.

"Katanya mau bantuin, kok, malah bengong?" Iko menepuk pelan pundak Cendana. "Tuh, separuhnya lo yang bawa, biar ada fungsinya mendadak pengin ikut ke sini." Iko menunjuk sisa tumpukan kertas di atas meja dengan gerakan dagu.

Cendana mengambil tumpukan kertas yang dimaksud Iko, didekapnya, lalu berjalan sambil menunduk keluar dari ruang guru.

"Cendana!"

Deg!

Itu suara Jati. Kenapa juga jantung Cendana harus bereaksi aneh tiap kali mendengarnya?

Jati yang baru keluar dari ruang kepsek menghampiri Cendana yang sudah berjarak beberapa langkah dari pintu ruang guru.

"Eh, Pak Jati." Cendana memutar badan, wajahnya mendadak semringah.

"Habis ngapain?"

"Ngambil lembaran tugas mengarang di meja Bu Melda."

Jati dan CendanaWhere stories live. Discover now