6 - Kenapa Juga Harus Sewot?

2.2K 321 25
                                    

Kenanga mencengkeram setir kuat-kuat. Ia melajukan mobilnya dengan kecepatan di atas rata-rata. Rasa kesal, atau cemburu yang menggerogoti hatinya belum sepenuhnya surut.

Karena tidak ingin latihan Jati terbengkalai, ia menyusul cowok itu ke sekolah tempatnya mengajar, setelah gagal menghubunginya. Namun kata satpam, Jati sudah pulang tanpa mengendarai sepedanya. Jati pasti hanya ke suatu tempat, ia tidak mungkin meninggalkan sepedanya di sini. Kenanga berkesimpulan demikian. Karena itu, ia menunggunya di dalam mobil yang sengaja diparkir di seberang jalan.

Penantian itu berakhir setelah sebuah angkot berhenti tepat di depan gerbang sekolah, dan Jati bersama salah seorang muridnya turun dari sana. Melihat interaksi Jati dan gadis itu sedemikian akrab, Kenanga mendadak gerah. Selama ini Jati selalu memilihnya jika butuh teman ke suatu tempat. Karena itu, ia tidak terima jika sekarang Jati pergi bersama gadis lain, terlebih sampai mengabaikan jadwal latihannya.

***

Cendana sempat memelankan laju sepedanya ketika melihat sebuah sepeda terparkir di depan sana. Di trotoar yang tak jauh dari sepeda itu, Jati mondar-mandir sambil melirik jam tangannya berkali-kali. Gerakan mondar-mandir cowok berkemeja biru dongker itu terhenti setelah mengangkat pandangan ke arah jalan datangnya Cendana. Tatapan mereka seketika terpaut dan menciptakan lengkungan manis di bibir keduanya.

Setelah kesiangan dan tidak bisa berangkat bareng Cendana kemarin, Jati berjanji pada diri sendiri untuk tidak mengulanginya lagi.

"Bapak kenapa berhenti di sini?"

"Lagi nunggu bidadari." Sepagi ini omongan Jati sudah lebih manis dari madu yang ditaburi gula halus, membuat Cendana berasa tidak berpijak di bumi.

Senyum Cendana mengepak sempurna, tanpa mampu berucap sepatah kata pun. Ia memilih kembali melajukan sepedanya. Jati lekas menyusul.

"Novel yang kemarin dibeli, udah selesai dibaca?" tanya Jati setelah laju sepeda mereka sejajar.

Cendana mengangguk.

"Bagus?"

Cendana kembali mengangguk.

"Kamu sariawan, ya? Dari tadi ngangguk-ngangguk aja."

"Bidadari emang gini, Pak, ngomongnya irit."

Tawa Jati meledak. Ia tidak menyangka gadis itu akan membalas candaannya.

Jati percaya, bahagia itu sederhana, namun tak menyangka sesederhana ini. Hanya mengayuh sepeda membelah lembaran pagi bersama gadis ini, sungguh terasa damai. Senyum Jati bertahan hingga tiba di sekolah.

***

Tumben Bu Susi belum muncul setelah Jati selesai memarkir sepedanya. Padahal sejak di gerbang tadi, Jati sudah menyiapkan diri untuk menerima segala bentuk serangan. Jati melangkah meninggalkan area parkir sambil tetap awas. Sedang Cendana sudah dari tadi mengambil langkah tergesa-gesa, tak ingin datangnya yang selalu bareng sang guru baru jadi perhatian.

Jati baru saja bernapas lega setelah merasa akan terbebas dari jeratan Bu Susi pagi ini, ketika ia menemui pemandangan ganjil saat melintasi lapangan yang sering digunakan untuk upacara setiap hari Senin. Ia melihat sang pakar cinta lari mengitari lapangan itu, tampak ngos-ngosan dengan ekspresi tidak keruan di tengah cucuran keringat. Entah sudah berapa putaran larinya. Di salah satu sudut lapangan, tepat di bawah pohon ketapang, berdirilah Bu Susi sambil bersedekap dengan tatapan tajam mengawasi pergerakan Jaka. Seolah-olah jika cowok culun itu menghentikan larinya, ia akan langsung menelannya.

Jati berpikir keras, kesalahan apa yang telah dilakukan Jaka hingga dihukum sepagi ini. Karena penasaran dan merasa perlu menolong, Jati mendekati Bu Susi untuk mencari tahu. Ia berdeham setelah berdiri bersisian dengan perawan tua itu. Bu Susi tidak merespons. Aneh. Tatapannya tetap mengekori pergerakan Jaka.

Jati dan CendanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang