3. Still have a place

724 80 3
                                    

Seiring hujan yang turun, kenangan tentang pertemuan pertama kembali muncul dalam ingatan.

Kebodohan yang menyisakan tempat di hatiーapakah aku masih punya keberanian untuk menolakmu?

Cintaku padamu begitu kuat, walaupun dengan pilihan yang kita tempuh, tidak sedikitpun aku merasa lelah.

Sedikit lagi, biarkan aku menahan getir iniー

ーsedikit lagi.

.
.
.

Lima tahun laluー

Imagine Me Gone, yang mempertemukan mereka.

Seijuurou Akashi berbinar saat buku incaran ada di hadapan mata. Buku terkenal karya Adam Haslett, yang mengisahkan cerita tentang kehilangan dan cinta. Ia bukan orang yang melankolis, bukan. Bukan pula pecandu cerita cinta. Namun buku ini lain kisah. Efeknya luar biasa untuk mengasah emosi. Butuh waktu lama baginya mencari buku yang sudah mulai sukar ditemukan itu. Terimakasih untuk Shintarou yang rela berbusa-busa demi merekomendasikannya.

Dengan bahagia, segera saja ia menarik buku tersebut dari rak kayu, bersamaan dengan jemari porselen yang turut meraih, beberapa senti dibawahnya.

Tiba-tiba Seijuurou merasa tersengat.

Ia menoleh, disambut dengan kerutan kening dari pemilik sepasang manik samudera. Birunya begitu indah, sampai Seijuurou lupa bernafas untuk beberapa detik.

Klise memang.

"Anoー" Pemuda manis menyapa lebih dahulu, Seijuurou hanya bisa mengerjap. "Kurasa aku yang lebih dahulu menemukan buku ini."

"Maaf?" Merasa tersinggung, Seijuurou menaikkan sebelah alis.

"Iniー" buku ditarik tiba-tiba,"ーaku duluan yang melihatnya." Mata biru membulat, tampak begitu keukeuh dengan pendapatnya.

Kami-sama, ingatkan dia untuk tidak memaki anak orang sembarangan.

Menarik nafas, kemudian membuangnya dengan dengusan, Seijuurou melirik sembari berkata,

"Kutanyakan dulu pada pramuniaga. Kalau masih ada stok, buku itu milikmu. Kalau tidak adaー"

Kalau tidak ada, apa?

Kalimatnya menggantung bebas di udara. Jarang berargumen dengan orang asing, ia seketika bingung merangkai kata. Netra-nya menyipit, rubi tajam seketika memerangkap samudera tanpa riak.

"Diam disini, jangan kemana-mana," putusnya kemudian.

Yang bersangkutan hanya mengikuti pandang dalam diam, sampai akhirnya beberapa menit kemudian helaian merah itu kembali dalam jangkauan mata.

"Kita suit."

"...."

"Suit, kau tahu suit kan?"

"...."

Seijuurou memijat pelipisnya yang terasa mengencang. Ditahannya kuat-kuat keinginan untuk merampas buku incaran dari pemuda berhelai biru.

"Haruskah?"

"Dengar, aku tidak mau tahu siapa yang lebih dahulu melihatーitu bisa saja akal-akalanmuーkarena pada akhirnya aku yang memegang buku itu duluan."

Si manis mencibir, sepertinya tidak terima. "Kau curang. Itu karena kau lebih tinggi dariku saja."

Mau tidak mau Seijuurou terkekeh.

See? Sebenarnya sudah jelas siapa yang berhak mendapatkan buku legendaris tersebut.

"Kuberi kau satu kesempatan." Tatapan tajam seketika melembut, bohong kalau pemuda dihadapan tidak terpesona.

Tawaran terakhir.

"Suit?"

"...."

"...."

Hanya beberapa detik sampai salah satu dari mereka harus mengambil langkah mundur.

Buku kini sudah di tangan.

Seijuurou Akashi tersenyum lepas, hanya untuk menertawakan Tetsuya Kuroko yang tersenyum kebas.

.
.
.

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

.
.
.

Empat tahun sampai akhirnya mereka memilih jalan yang berbeda, setahun kemudian yang dilewati tanpa adanya komunikasi, dan Seijuurou tiba-tiba merasa rindu.

Lembar demi lembar di balik dengan mata kosong, sepasang manik itu baru bersinar saat menemukan ukiran paraf milik Tetsuya pada lembar kelima.

Milik bersama, katanya. Tidak boleh diperjual-belikan.

Seijuurou tertawa hampa mengingatnya.

Apakah ia masih diberi kesempatan untuk beradu pendapat dengan si keras kepala Tetsuya?

Apakah jalan yang bercabang itu bisa kembali menjadi satu tujuan?

Masa depan? Kita?

Adakah masa depan untuk kita?

Tiba-tiba merasa gusar, buku ditutup begitu saja oleh Seijuurou. Siapa yang menyakiti siapa, kini tampak begitu kabur dalam memori. Berselisih paham, perbedaan pendapat dan visi, bahkan yang sepele seperti makanan kesukaan dan hobi dapat menyulut api pertengkaran.

Yang pasti, pilihannya untuk melangkahkan kaki meninggalkan Tetsuya bersama dengan kekecewaan kini terus menghantui pikiran.

Ia salah.

Ia salah.

Seijuurou mengakui itu.

Ponsel diraih, nomor yang ia hafal di luar kepala ditekan dengan antusias, namun berhenti begitu saja saat ibu jari hampir menyentuh tombol panggil.

.
.
.

Sedikit lagi Tetsuya, tolong berikan aku waktu untuk menahan gejolak rindu yang terasa getir iniー

ーsedikit lagi.

Won't Stop, Don't Stop ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang