Aku berusaha untuk mengungkap diriku yang lama, mengabaikan jalan kita, tanpa pernah berhenti memikirkannya.
'Mungkinkah aku dapat melihatmu?'
'Mungkinkah kau akan kembali?'
Memilih pendirianku, mungkin diriku menjadi lemahー
(ーmungkin hatiku menjadi lemah)
Suatu kebodohan, ketika hatiku berkata 'iya', namun mulutku terus menumpahkan kata-kata yang tidak seharusnya aku katakan
. . .
Tetsuya selalu iri dengan Ryouta Kise dan kefasihannya saat berbicara. Setiap ucapannya meluber, tumpah ruah begitu saja sesuai apa yang ia pikirkan dan ia rasakan.
Tidak ada filter, maksudnya.
Seperti saat ini.
"Nee, Kurokochi? Kau yakin akan pindah?" Ryouta bertanya sembari memasukkan buku-buku literatur milik Tetsuya. Tangan itu begitu cekatan, sedikit mengeryit saat menemukan debu yang beterbangan, lalu terbatuk.
"Kupikir, sebaiknya kau disini saja. Toh ini apartemenmu. Kau punya hak untuk tinggal disini. Lagipula, siapa tahu kan dia akan kembali. Aku kok tidak yakin ya dia meninggalkanmu begitu saja. Rasanya unbelievable," cerocosnya kemudian.
"Apartemenkuー"
ーdan apartemennya, tambah Tetsuya dalam hati.
Ia terdiam kemudian. Banyak yang dipikirkan, sedikit yang keluar dari bibir tipisnya.
Ia juga berpikir sama seperti Ryouta, hanya saja tidak terungkap.
Tapi sekalinya mengungkap isi hati, pedasnya sampai ke telinga.
"Bahkan kau mengganti nomor ponselmu kemarin,"
"Hmm," Tetsuya hanya menggumam sebagai respon.
Tok tok brukk
Buku-buku usang diketuk pada lantai kayu, menghempaskan debu dan sarang laba2 lepas dari persemayaman.
"Duh kotor sekali," Ryouta mengomel, menggaruk hidung yang terasa gatal.
"Bagaimana nanti kalau ternyata dia menghubungimu, memohon untuk memperbaiki semua. Apa kau tidak mau memberinya kesempatan?"
"Kesempatanー"
Pletak
Ryouta menjerit. Tetsuya tercengang.
Bukan, yang barusan bukan darinya. Manik samuderanya berbelok pandang menuju pria berkulit tan di sofa seberang. Ocehan berisik Ryouta rupanya membangunkan Daiki dari mimpi-mesum-indahnya.
"Idiot, Kise," Ia mengumpat. "Bisa-bisanya kau membahas masalah sensitif seperti itu dengan Tetsu."
Pria bermata hazel mengambil buku saku yang sempat mendarat di kepala, sebelum akhirnya melempar balik. Ia menggerutu.
"Aku hanya menyampaikan pendapatku. Tidak ada salahnya kan."
"Kehadiranmu disini saja sudah salah." Daiki menguap, merenggangkan tubuh maksimal. Ia berjalan menghampiri Tetsuya, lalu mengacak helaian biru itu penuh sayang.