5. Do I even have a choice?

478 80 0
                                    

Aku akan memulai lagi, untuk mengatakannya

Bahwa, walaupun mungkin kita tidak bisa bertemu kembali, tolongー

ーtolong...

...rengkuh aku dalam ingatanmu

.
.
.

Seijuurou Akashi melangkahkan kaki memasuki ruang tengah apartemen hanya untuk menemui segala sesuatunya sudah kosong.

Yang tersisa hanya perabot, namun tidak ada eksistensi yang ia rindukan

Ia terduduk di sofa, menopangkan kepala pada kedua tangan. Kening seketika berkedut nyeri.

Andai saja ia lebih cepat menghubungi Tetsuya. Andai saja ia lebih cepat menguasai egonya dan mengalah, andai saja Tetsuya mau mengulur waktu, sedikit sajaー

ーdan masih banyak andai-andai yang lain.

Ah, Akashi-kun rupanya. Baru 4 hari lalu Kuroko-kun pindahan, apa dia tidak menghubungimu? Komentar bibi tetangga saat ia bertanya tadi.

Aku yang tidak pernah menghubunginya, Seijuurou tertawa hambar dalam hati.

Saat awal mereka bertengkar hebat dan ia memutuskan untuk hengkang, Tetsuya sempat menghubunginya. Satu kali, dua kali, lima kali, sampai akhirnya menyerah. Harapan tak kunjung berbalas, Seijuurou tampaknya lebih senang mempertahankan segala ego dan visinyaーkala itu.

Alasannya banyak. Dari yang simpel, sampai yang benar menguras emosi.

Tetsuya suka manis, Seijuurou tidak menyukai manis.

Tetsuya begitu menyayangi anak kecil, Seijuurou merasa sangat terganggu dengan suara anak kecil.

Tetsuya sering diam karena bingung mau berbicara apa, Seijuurou sering diam karena ia memang terlalu malas untuk berkomentar.

Tetsuya menyukai musim gugur dimana ia bisa menikmati susu vanilla sembari cuddling bersama sang kekasih, Seijuurou menyukai musim panas dimana ia bisa fokus bekerja tanpa kehujanan, tanpa menggigil oleh dinginnya salju, dan tanpa bersin-bersin oleh karena tiupan angin musim semi.

Tetsuya lebih memakai perasaan dan intuisinya saat menghadapi masalah, sedangkan ia lebih mengandalkan logika diatas segalanya.

Tetsuya senang dengan proses dan menikmatinya, Seijuurou lebih ambisius dalam mengejar target yang diinginkan.

Ah sial

Tetesan air tanpa sadar jatuh dari sepasang manik rubi tajam.

Kalau saja Shintarou tahu, pasti ia akan menjadi bahan tertawaan di kantor.

Seperti ini ternyata rasanya patah hati, brengsek memang.

Tangan pria tampan itu bergetar, di saat seperti ini logika yang ia banggakan bahkan tidak bekerja sama sekali.

Ia sering menyebut Tetsuya keras kepala, tanpa menyadari bahkan ia bisa lebih dari seorang Tetsuya.

.
.
.

Dan di saat ia sudah berhasil meraih puncak dari segala ambisinya, di saat itu pula sang kekasih memilih mundur perlahan.

.
.
.

Nee, Seijuurou-kun. Apa artinya semua ambisimu kalau kau tidak memilikinya?

Telunjuk Tetsuya yang menyentuh dada kanannya lima tahun lalu, kini terasa hampa dan getir.

Won't Stop, Don't Stop ✔Where stories live. Discover now