27. Sabar

8.9K 251 9
                                    

Gelora 💗 SMA

Sehari setelah kejadian itu, tanpa sengaja aku bertemu dengan Pak Armando di depan pintu gerbang sekolah. Seperti biasa Guru berperawakan tinggi bak model ini tampil ganteng maksimal dengan setelan kemeja putih yang dipadankan dengan celana bahan warna hitam dan sepatu pantofel warna senada. Pria itu tersenyum menebar pesona maskulinitas-nya. Namun di mataku semua itu menjadi tak menarik lagi. Pandanganku terhadap wajah tampannya sedikit berubah. Aku merasa ketakutan dan cenderung tidak menyukainya. Aku tidak yakin apakah dia Pak Armando sungguhan atau Pak Armando jadi-jadian, benar-benar rancu. Aku ingin menghindarinya tapi aku tidak memiliki kesempatan itu. Aku sudah terlambat. Laki-laki berhidung mancung itu sudah melihatku.

''Hai, Poo ...'' Pak Armando menyapaku.

''Hai, Pak,'' balasku dengan nada malas.

''Kamu kenapa, Poo? Kok tingkahnya agak aneh begitu ketemu saya?'' Pak Armando memperhatikan aku dengan seksama.

''Aneh kenapa?'' Aku jadi gugup.

''Wajahmu langsung pucat seperti orang yang sedang ketakutan. Ada apa, sih?'' Pak Armando mendekati aku dan menyentuh bahuku.

''Jangan sentuh saya!'' elakku dengan cepat menghalau tangannya. Aku berusaha menjaga jarak dari Pak Armando.

''Poo ... kamu kenapa, sih? Kamu lagi sakit?''

''Saya tidak apa-apa, Pak, dan Bapak tidak perlu mengkhawatirkan saya!''

''Oh ... oke ... oke!''

''Maaf saya pergi dulu, Pak. Permisi!'' Aku mengakhiri percakapan itu tanpa memandang bola matanya. Aku langsung membalikan badanku dan mempercepat gerak langkahku. Aku tidak peduli pendapat Pak Armando dengan sikapku ini. Aku hanya merasa tidak nyaman berada di dekat laki-laki berwajah rupawan yang satu itu.

Mungkin penyebabnya karena peristiwa janggal yang aku alami kemarin. Walaupun teman-temanku berkata bahwa aku mengalami halusinasi, namun bagiku pengalaman itu sangat nyata dan aku tidak bisa melupakannya dengan begitu saja.

Teeet ... Teett ... Teet!

Bel tanda masuk sudah berbunyi. Tanpa basa-basi aku langsung memasuki ruang kelas dan duduk manis di bangkuku. Aku mengeluarkan sebuah buku dari dalam tas rangselku dan menyiapkan diri untuk mengikuti pelajaran di jam pertama ini. Sedetik dua detik suasana tenang. Namun di detik selanjutnya ada yang colak-colek dari arah belakangku.

''Poo ... Poo ...'' ujarnya sambil mencolek punggungku berkali-kali.

''Apaan, sih ... aku lagi tidak berselera buat bercanda!'' tukasku tanpa menoreh.

''Poo ... Poo ...'' Anak ini colak-colek lagi.

''Hmmm ...'' Aku berdecak dan cuek.

''Poo ...'' Dia colek lagi.

Aku diam saja.

"Milea ...'' Dia setengah berteriak.

Oh Tuhan, ini pasti ulah si Akim. Hanya makhluk konyol itu saja yang berani memanggilku dengan sebutan nama perempuan. Sejak kapan dia pindah duduk tepat di belakang aku. Sepertinya dia mau mengajakku berperang. Hmmm ....

''Sudah aku bilang jangan panggil aku dengan sebutan itu, Akiiimmmm!'' Aku menghardik si trouble maker itu. Dia malah meringis sambil pegang-pegang perutnya. Menyebalkan!

''Habisnya aku panggil-panggil Poo, kamu tidak mau menengok, sih ... jadi aku panggil aja, Milea ... eh kamu malah menengok ....''

''Dasar! Ada apa sih, kamu panggil-panggil aku ...''

''Aku lagi sakit perut nih, Poo ... dari tadi mules banget kepengen beol ... kayaknya aku salah makan, deh.''

''Terus apa hubungannya dengan aku?''

''Aku lihat kamu 'kan punya tisu banyak ... jadi boleh dong aku minta?''

''Buat apa?''

''Buat ngelaplah ... ntar habis cebok!''

Aku bersingut, lalu ...

''Nih!" Aku langsung menyerahkan beberapa lembar tisu ke tangan Akim.

''Terima kasih, Milea ... Eh, Poo ... hehehe.'' Akim bangkit dari duduknya dan segera ngibrit keluar kelas.

Aku hanya mengehela nafas dan mengurut dada melihat tingkah kocak salah satu teman sekelasku itu.

''Sabar ... sabar ...''

Aku harus punya hati yang lapang dan ekstra kesabaran buat menghadapi teman sejahil Akim. Fuck!

Gelora 'G' SMATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang