28. Geram

8.5K 270 5
                                    

Gelora 💗 SMA

Termenung jauh ...

Aku duduk di teras depan kelas saat jam istirahat. Aku malas untuk pergi ke kantin, padahal aku sudah rindu dengan bakso pelajarnya, Bu Retno pemilik warung sekolah. Aku masih memikirkan kejadian naas di ruang UKS kemarin. Mengapa aku yakin sekali kalau peristiwa itu bukan halusinasi semata. Aku merasa Pak Armando adalah pelakunya, laki-laki bejat yang menggores pelecehan dalam lembaran tubuh polosku. Jika benar ini nyata, pasti ada orang-orang yang bersengkokol di balik tindakan cabul Pak Armando terhadapku.

Meskipun aku juga ada keraguan, mengingat sikap Pak Armando tadi pagi yang begitu tenang dan tanpa dosa seperti tidak mengetahui apa-apa. Tapi, bisa jadi itu hanya akting dan kepura-puraan dia saja. Akhh ... aku memang tidak memiliki bukti yang kuat, untuk memecahkan masalah ini. Yang pasti aku masih tidak percaya dengan hal ghaib yang diceritakan Akim Cs. Ini pasti hal yang mengada-ngada.

Tunggu ... tiba-tiba, aku mengingat sesuatu, mungkin inilah salah satu kunci yang bisa membuka tabir perkara yang aku alami kemarin. Aku bangkit dari tempatku duduk dan bergerak ke ruang kelasku. Aku langsung menghampiri Yadi dan Boni, mereka adalah orang-orang yang aku percayai untuk menitipkan barang-barangku selepas aku dari toilet karena kebetulan waktu itu cuma ada mereka di dalam kelas.

"Yadi ... Boni ...'' kataku pada dua orang itu.

''Ya, Poo ... ada apa?'' tanya Boni. Yadi hanya melirikku dengan pandangan keheranan.

''Kalian ingat, gak? Kemarin aku menitipkan barang-barangku pada kalian?'' kataku.

''Ingatlah, Poo ...'' jawab Yadi.

''Terus barang-barang itu kalian kemanakan?'' tanyaku.

''Maaf ya, Poo ... karena kemarin kami mau pulang, akhirnya kami titipkan kembali kepada Akim, Awan, dan Yopi'' jawab Boni.

''Yups ... itu yang ingin kudengar jawaban dari kalian!''

''Memangnya ada apa, Poo?'' ujar Yadi kepo.

''Tidak ... tidak ada apa-apa!'' timpalku, ''Boni, Yadi, Thanks ya, atas klarifikasinya ... keterangan kalian sangat berguna buatku,'' lanjutku.

''Iya, Poo ... sama-sama!'' jawab Boni dan Yadi kompak.

Tak perlu diragukan lagi, setelah mendapatkan keterangan dari Yadi dan Boni, aku langsung berlari dan bergerak menuju ke ruang Guru. Apa yang aku pikirkan hanya satu, bahwa Pak Armando-lah yang memang melakukan perbuatan asusila tersebut.

Tiba di ruang Guru aku langsung berteriak, "Pak Armando!'' hingga seluruh penghuni ruang Guru kaget dan matanya fokus ke arahku.

''Dimana Pak Armando ... Saya mencari dia!'' kataku dengan oktaf yang tinggi.

''Ricopolo ... ada apa ini? Kok, kamu jadi tidak sopan begini, teriak-teriak di ruangan Guru!'' tegur Bu Desi yang kebetulan ada di ruangan ini.

''Tenang! Tenang! ... ada apa ini?'' lanjut salah seorang guru lagi.

''Maaf, Bu ... saya cari Pak Armando ...'' ujarku masih dengan emosi.

''Pak Armando sudah tidak ada di sini ...'' jawab Bu Desi tegas.

''Maksudnya?'' tanyaku.

''Beliau sudah mengundurkan diri dari sekolah ini!''

''Apa!'' Aku terkejut, sangat terkejut.

''Ya ... sejak tadi pagi Pak Armando sudah menyerahkan surat pengunduran dirinya ... Beliau sudah resmi bukan tenaga pengajar lagi di sekolah ini," terang Kepala sekolah yang kebetulan nimbrung dan masuk ke ruang Guru.

''Brengsek!'' seruku geram sambil mengepalkan tanganku.

''Apa yang terjadi, Poo?'' tanya Pak Kepala sekolah.

''Tidak ada apa-apa, Pak ... Maaf saya sudah berbuat onar di sini, Permisi!'' jawabku seraya ngacir dari hadapan Bapak Kepala Sekolah.

''Poo ... Polo!'' Pak Kepala Sekolah memanggilku, namun aku tidak menggubrisnya.

Aku terus berlari dengan perasaan yang kalut dan hati yang panas. Kepalaku seolah mendidih dan bisa buat merebus telor (Gak-lah itu lebay! Hehehe).

Aku kembali ke dalam kelas, kebetulan Akim Cs sudah berkumpul di sana. Tanpa Crat Crit Crut, aku segera menghampiri mereka dan aku memukuli tubuh Akim secara membabi buta.

BUG! ... BUG! ... BUG!

Pukulan demi pukulan aku hantamkan ke wajah, dada, perut dan bahu Akim hingga dia kewalahan dan meringai kesakitan.

''Polo ... Poo!'' teriak Yopi melerai dan menenangkan aku. Dia menarik tubuhku dan membawanya jauh dari tubuh Akim. Sementara Akim sempoyongan dan menyender di badan Awan.

''Poo ... ada apa ini?'' tanya Yopi.

''Kalian semua BRENGSEKKKK! kalian telah bersengkokol dengan Guru Cabul itu!'' teriakku berapi-api.

''Poo ... Poo ... tenang ... tenang ...'' Yopi berusaha menenangkan aku.

''Kalian tega, ya ... melakukan ini padaku!'' seruku lagi.

''Ada apa sih, Poo ... kok, kamu jadi kesetanan begini ... kayak orang kesurupan aja!'' timpal Awan.

''Diam, kamu semua! ... jangan sok pintar bersandiwara!"

''Apa yang terjadi, Poo?'' tanya Awan.

''Kalian jahat!''

''Poo  .. kenapa kamu menuduh kami bersekongkol ... sekongkol dengan siapa?'' ujar Akim sambil menahan sakit.

''Kalian bersekongkol dengan Pak Armando untuk mencelakai aku ... Kalian dibayar berapa sama Guru Cabul itu!'' aku bersingut geram.

''Poo ... kamu salah, kami tidak sekongkol seperti yang kamu tuduhkan ... kami benar-benar menemukan tubuh kamu tergeletak di toilet ...'' jelas Awan, dan aku merasa dia berkata jujur. Aku percaya sama dia. Karena Awan terkenal dengan integritasnya.

''Ya, Poo ... setelah kami temukan tubuh kamu, kami langsung membawa kamu ke ruang UKS ... dan kami menunggumu hingga kamu siuman ...'' ujar Yopi membenarkan.

Aku memandang wajah Akim, Awan, dan Yopi satu per satu, sepertinya ekspresi mereka memang tidak sedikit pun menunjukan unsur kebohongan, terus jika mereka berkata jujur dan tidak terlibat dalam kasus ini. Lalu siapa yang membantu Pak Armando dalam melancarkan aksinya?

Gelora 'G' SMAWhere stories live. Discover now