Bagian 4 [Dia Kembali]

924 70 8
                                    


"Kamu kemana saja selama seminggu kemarin, Nanda? Kenapa kamu bolos?" 

Wanita bertubuh agak berisi itu mengintrogasi Nanda. Sudah kebiasaan dosen satu ini untuk memarahi Nanda. Yang dimarahi juga tidak pernah bosan. Hari ini dimarahi, besok-besoknya ia mengulangi kesalahannya lagi. Ya, begitulah kehidupan Nanda.

Sebenarnya Nanda bukan anak nakal, tetapi mau bagaimana lagi. Dia jadi gadis baik pun, tidak ada yang peduli juga 'kan?

"Pengen aja, Bu" jawabnya enteng.

Dosen tadi yang mendengar jawaban Nanda pun hanya geleng-geleng kepala. Kenapa anak model Nanda begini bisa berkuliah disini?


"Ibu ingin berbicara dengan orang tua kamu.."

"Ibu sudah punya nomor telepon orang tua saya, kalau Ibu Namira lupa.."

Terdengar suara helaan napas dari wanita yang ada di hadapan Nanda ini. Benar juga apa yang dibilang mahasiswi-nya ini. Dia 'kan memang sudah mempunyai nomor telepon orang tua Nanda.

Ibu Namira segera mengambil smartphone miliknya yang terletak di atas meja ini. Dicarinya kontak orang tua Nanda, kemudian diteleponnya.

Nanda yang melihat itu pun hanya tersenyum miring. Percuma saja dosen dihadapannya ini menelepon orang tuanya. Jelas-jelas orang tuanya itu super sibuk. Pasti gak bakalan diangkat 'tuh teleponnya.

Terlihat raut wajah kesal pada Ibu Namira. Entah sudah berapa kali dia mengotak-atik smartphonenya dan menempelkan ke telinganya. Tetap saja hasilnya sama. Telepon itu tidak diangkat. Hanya ada suara operator telepon yang terdengar.


"Ibu ingin bertemu dan berbicara langsung dengan orang tua kamu, Nanda." Ujar Ibu Namira setelah menaruh smartphone tadi ke dalam tasnya.

"Orang tua saya sedang berada di luar negeri, Bu." Nanda menjawab jujur. Memang benar jika saat ini orang tuanya berada di luar negeri. Untuk mengurusi pekerjaan tentunya, sampai lupa mengurusi anak sendiri.

"Kapan mereka pulang ke sini?" Lanjut Bu Namira menanyakan pada Nanda.

"Gak tau juga saya, Bu."

"Kamu ini gimana sih, Nanda!" Ujar Bu Namira setengah berteriak. Lama-lama berurusan dengan anak model Nanda begini memang agak membuat sedikit kesal. Orang tuanya kapan pulang 'kok anaknya gak tau sih? Pikirnya.

"Ya sudah, tolong kasihkan ini ke orang tua kamu." Ucap Bu Namira seraya memberikan amplop putih itu kepada Nanda. Amplop putih yang pastinya berisi surat panggilan untuk orang tua Nanda agar datang ke kampus ini.

"Kalau orang tua kamu sudah pulang dari luar negeri, kabarin Ibu ya."

Nanda hanya mengangguk menanggapinya. Lalu ia berpamitan dan bergegas keluar dari ruangan ini.


Entah sudah berapa banyak amplop putih yang sama ini ia terima. Entah sudah berapa kali juga dosen-dosen disini menelepon orang tuanya. Tetapi hasilnya nihil. Dan apa tadi yang Bu Namira bilang?

'Kalau orang tua kamu sudah pulang dari luar negeri, kabarin Ibu ya.'

Papa dan Mamanya mungkin tak akan pernah pulang. Terakhir mereka pulang adalah setahun yang lalu. Itupun hanya sehari saja.

Miris sekali bukan?

Nanda hanya ingin berada di dekat kedua orang tuanya, merasakan kehangatan kasih sayang mereka. Bukannya hidup sendirian seperti ini yang hanya ditemani Bi Ijah, pembantu rumah tangga yang satu-satunya menjadi teman Nanda jika di rumah.

Nanda sangat iri dengan teman-temannya yang memiliki waktu bersama keluarga. Dia ingin sekali merasakan jadi seperti mereka. Tetapi itu mana mungkin terjadi. Bahkan untuk sekedar menelpon Nanda saja, orang tuanya tidak sempat. Kadang gadis itu berpikir, Mama-Papanya ini memang terlalu sibuk atau memang mereka sudah tidak peduli lagi pada Nanda.

Menanyakan kabar anaknya saja tidak pernah. Orang tua macam apa itu? Disitu Nanda sadar jika ternyata orang tuanya mungkin memang tidak peduli lagi. Kalau sudah begini, lebih baik tidak usah memiliki kedua orang tua lagi 'kan? Rasanya juga sama saja. Tidak ada bedanya.


Nanda berhenti melangkahkan kakinya. Menatap tempat ia berdiri saat ini.

Sebuah danau yang terletak di bagian belakang kampusnya ini adalah tempat yang sering ia singgahi. Setidaknya, ditempat ini Nanda bisa merasakan ketenangan.

Nanda melangkah mendekat ke pinggir danau itu. Kemudian mendudukkan dirinya di bawah pohon cemara dengan kedua kaki yang ditekuk. Menatap danau yang ada dihadapannya ini dengan tatapan kosong.

Dia mengambil kerikil kecil dan menumpahkan kekalutan hatinya pada kerikil yang ia lempar ke danau itu. Berharap beban hidupnya bisa sedikit berkurang dan lenyap di dasar danau itu.

Bagaimana bisa orang-orang dengan mudahnya berbicara bahwa hidup itu adil?

Adil bagi mereka, tetapi tidak bagi Nanda.

Gadis berambut coklat ini merasa lelah. Tidak kuat menghadapi semua ini. Dia butuh istirahat, tetapi tidak untuk sesaat. Tetapi dia tersadar, jika dia menghilang dari dunia ini memangnya ada yang peduli? Sepertinya tidak. Hahaha.

Nanda tertawa miris bersamaan dengan jatuhnya cairan bening dari sudut matanya.


Bisakah ini menjadi lebih buruk lagi?


Saat ini, Nanda sudah menangis sesenggukan. Dia menutup mulutnya agar isak tangisnya itu tidak terdengar. Hingga sebuah sapu tangan tiba-tiba ada di depan wajahnya.


Sapu tangan itu berwarna biru muda. Warna yang sama seperti waktu itu.

Nanda masih diam tanpa berniat mengambil sapu tangan itu. Sepertinya ini hanya ilusi.

"Jangan nangis lagi, ya.."

Suara lelaki yang memegang sapu tangan itu menyadarkan Nanda.

Sapu tangan biru muda itu.
Kata-kata yang diucapkan lelaki itu.

Mengingatkan Nanda pada seseorang.

Apa ini yang namanya Dė javü?


Gadis berambut coklat itu menoleh ke asal suara. Dilihatnya lelaki yang memberikan sapu tangan tadi. Dia adalah lelaki teman sekelasnya. Lelaki yang semalam ditemuinya dan yang tadi pagi dikenalkan oleh Wulan.

Tetapi, siapa namanya ya?

Gadis berambut coklat itu tersentak kala tangan lelaki itu menghapus air matanya dengan lembut menggunakan sapu tangan tadi.

Nanda menatap tepat pada manik mata lelaki itu. Manik mata hitam legam yang mengingatkannya pada seseorang..

Lelaki itu tersenyum tipis saat air mata dipipi Nanda sudah tak ada lagi.

Senyum tipisnya itu menampakkan lesung pipi di sebelah kiri.

"Jangan nangis lagi, ya.." ujar lelaki itu sambil tersenyum, lalu menundukkan wajahnya.

"Zahra..." lirihnya.


Sedetik kemudian, tubuh lelaki itu menegang ketika gadis berambut coklat dihadapannya ini memeluknya.


Gadis berambut coklat itu memeluknya.

Nanda memeluknya.

Nanda memeluk lelaki itu dengan erat. Menyalurkan rasa rindu yang sudah lama terjerat. 

Karena dia adalah lelaki yang selalu dinantinya setiap saat.

Iya, lelaki itu..




___

Bersambung..

___




Seneng banget ada yang mau masukin cerita ini ke daftar bacaannya.. makasih banget loh ^_^

Sudah di next nih, ya walaupun ga memenuhi target sih :'v

Sedih banget ga ada yg vote sama comment:" 

Diriku butuh penyemangat nulis :"



Hijrah?Where stories live. Discover now