The Wasted Angel (01)

50 7 0
                                    

Menutup mata. Aku menikmati hembusan demi hembusan angin yang membelai hampir seluruh tubuhku. Bisa kurasakan saat ini, rambutku melayang. Sesaat aku melihat ke atas, menatap sepasang sayap malaikat memenuhi penglihatanku. Menghalangiku untuk menatap bintang dan bulan.

Kurasakan dekapan erat tubuhnya padaku. Hembusan napas pendeknya menerpa bahuku. Kurasa dia mulai kelelahan.

"Sebaiknya kita berhenti."

Ia pun menurut, mulai mendarat dengan halus dan akhirnya menapak tanah subur yang tidak terlalu becek. Mataku melihat sekitar. Berusaha mengenali daerah yang sedang kupijak.

"Di sini aman."

Akhirnya kami bermalam di bawah pohon rindang, aku tak tahu namanya karena aku selama ini hanya berada di dalam rumah. Baru kali ini aku melihat dunia yang sesungguhnya.

Dia menyimpan sayap di balik punggung, mengecil dan akhirnya menghilang. Aku belum pernah tahu ke mana sayap itu disembunyikan. Dan aku tak pernah menanyakannya.

***

"Araqiel, bisakah kau sembunyikan sayapmu?"

Ia menatapku sejenak. Mata biru lautnya seakan-akan menenggelamkanku bila tak segera memutus kontak mata dengannya.

"Kenapa?"

"Di sini ada banyak manusia."

Lagi, dia memandangku heran. Memangnya aku salah melindungi malaikat yang jatuh dari surga?

"Baiklah." Ia pun menyerah.

Aku dan Araqiel sudah hidup bersama selama hampir 17 tahun. Sekitar, aku baru lahir sampai sekarang. Dan umurku masihlah 16 tahun.

Dia adalah malaikat yang baik. Namun, aku tak tahu mengapa dia diusir dari surga.

Aku dan Araqiel memilih kabur dari rumah karena ayah dan ibuku sudah dibunuh oleh anak buah pemerintah. Mereka menginginkan Araqiel setelah tahu siapa Araqiel sesungguhnya. Dan sekarang, kami berada di sebuah desa terpencil, di mana para pemerintah itu tidak mungkin sampai ke daratan ini.

"Ayo, sebaiknya kita segera cari pekerjaan untuk mendapatkan uang."

Kami pun menghampiri beberapa kios yang sekiranya membutuhkan pertolongan. Alhasil, aku menjadi penjaga kios, sedangkan Araqiel mengangkat beberapa karung ke kios, kemudian membantuku untuk menjualnya.

"Wah, aku baru pertama kali mendapatkan uang dari hasil jerih payahku." Aku menatap wajah Araqiel. Dia menunjukkan wajah kesalnya.

"Dan juga dirimu." Lalu senyumannya mengembang. Bagaikan anak kecil yang mendapat pujian.

"Apa kau lapar?" Araqiel mengangguk semangat. Tentu saja, dialah yang mengeluarkan tenaga lebih besar daripada aku.

Kami memutuskan untuk membeli 2 roti berukuran sedang. 1 roti kubagi menjadi dua, dengan potongan yang lebih besar untuk Araqiel. Dan roti satu lagi-yang masih utuh-kusimpan untuk makan malam. Aku menyerahkan roti itu pada Araqiel, tetapi lelaki berambut pirang itu menatapku tidak paham.

"Kamu sudah bekerja keras, ini imbalannya."

"Kenapa?"

CerpenRa (Mampukah Kau Menebak Akhir Kisahnya?)Where stories live. Discover now