Has been Changed

6 4 0
                                    

Udara siang di sekolah memang sangat panas. Padahal AC kelas sudah diatur suhunya menjadi lebih rendah, tetapi tetap tidak ada efek baiknya. Aku meraih buku, kemudian mengipaskannya ke depan wajahku yang sepertinya sudah memerah karena kepanasan.

"Yunita!"

Aku menoleh ke asal suara. Itu suara Eza, cinta pertamaku, dan sialnya dia pacar Yunita, si ratu gosip yang bermulut super.

Dengan riangnya, Yunita menghampiri Eza, lalu meloncat ke pelukan Eza. Aku hampir muntah melihat sikap mereka yang seperti bocah TK.

"Kangen!"

Aku menutup mulutku sekuat tenaga. Menahan diri agar tidak benar-benar mengeluarkan sarapan pagiku.

"Lizzy."

Dia, Kenzo. Lelaki yang sekarang menyandang sebagai pacar pura-puraku.

Aku mengenal Kenzo saat kami tak sengaja bertemu di taman, saat kami sama-sama ditolak dan menangis karenanya. Menyedihkan. Kami pun membentuk persekutuan untuk mengejar apa yang kita inginkan. Berhubung Kenzo sekelas dengan Eza, dan aku sekelas dengan Yunita, kami saling bertukar informasi.

Asal-usul hubungan kita adalah semenit setelah Eza dan Yunita mengumumkan kepada semua orang kalau mereka pacaran. Kami melakukan pacar pura-pura untuk membuat hubungan Eza dan Yunita kandas.

"Hai," kataku sembari menutup mulut. Ugh, rasanya menjijikkan ketika melihat Eza dan Yunita bermesraan seperti itu.

"Kamu sakit?" Saat aku duduk di kursi, Kenzo berjongkok di hadapanku. Wajahnya menunjukkan raut khawatir. Membuatku tertegun saat melihat rautnya itu.

Sekilas, aku melirik Eza yang merangkul pundak Yunita dengan mesra. Tak kusangka dia juga menatapku.

Aku punya sebuah ide.

Aku menundukkan wajahku ke bawah, lalu mencium pucuk kepala Kenzo dengan lembut.

"Aku rindu baumu," kataku sembari menatap Eza yang melotot padaku.

Ah, lihat ekspresi itu. Dia cemburu, 'kan?

Aku merasakan kepala Kenzo mendongak, menatapku dengan wajah seperti kucing. Aih, aku itu sangat membenci kucing karena tatapan hewan itu seringkali membuatku kehilangan sesuatu. Makanan contohnya.

"Apa?" tanyaku dengan wajah datar.

Kenzo bangkit dari jongkoknya, kemudian dia meraih kepalaku untuk ditempelkan pada perutnya. Oh Tuhan, aku bisa merasakan kerasnya perut Kenzo. Dia pasti suka berolahraga.

"Kangen."

Sebenarnya, apa yang kulakukan dan dilakukan Eza adalah hal yang sama. Menjijikkan. Namun semua ini harus kulakukan agar Eza sadar akan perasaannya padaku.

Aku yakin, dia berpacaran dengan Yunita hanya karena paksaan. Bukan karena keinginannya sendiri. Kalau dia memang mencintai Yunita, matanya tidak akan berkeliaran mencariku, dan melotot saat aku mencium pucuk kepala pacar—pura-puraku.

"Lepas," kataku sembari mencubit pinggangnya.

Dia kira aku betah ditempelkan ke perut kerasnya yang seperti tembok? Hah, bisa mati konyol aku karena tidak bisa bernapas.

"Ish, padahal masih kangen."

Aku menatapnya dengan tatapan tajam. Aku yakin  dia tidak akan lupa kalau kami hanya pura-pura pacaran.

"Kejam."

"Eza! Kamu dengerin nggak apa yang aku omongin?!" Suara Yunita meninggi. Aku mendorong tubuh Kenzo ke samping, untuk melihat perdebatan Eza dan Yunita. Inilah adegan yang paling kusukai dalam hubungan orang lain, pertarungan.

CerpenRa (Mampukah Kau Menebak Akhir Kisahnya?)Where stories live. Discover now