T I G A

64.3K 8K 187
                                    


 Kakek Vica adalah keturunan India—Indonesia dan usaha keluarga mereka sejak zaman dahulu adalah usaha tekstil. Rina—Ibunya mewarisi usaha kakeknya dan bisa menjalankan usahanya dengan lancar sampai beliau punya beberapa toko kain yang besar. Selain itu, Ibunya juga seorang penjahit professional yang tidak usah diragukan lagi kemampuannya. Setiap tahun, banyak sekali orderan yang masuk ke tokonya. Hanya saja, sejak punya cucu dari Kakak pertama dan adiknya, Rina berhenti menerima orderan banyak dan Ibunya itu benar-benar pemilih dalam menerima orderan. Menyebalkannya, ketika ada pasangan selebriti yang mendatanginya, akan Ibunya terima dengan meriah sedangkan jika pasangan biasa yang datang, akan Ibunya tolak mentah-mentah sekalipun bayarannya sama dengan bayaran pasangan selebriti. Err, satu sifat menyebalkan Ibunya ya itu, pilih-pilih konsumen.

Vica sendiri adalah satu-satunya anak yang menekuni bidang yang sama dengan Ibunya. Kakak pertamanya—Radifa adalah Bidan yang sudah buka praktek sendiri, suaminya bekerja sebagai Dokter Bedah di Rumah Sakit ternama di Kota Bandung, sedangkan Kakak keduanya—Ardan, bekerja sebagai dosen, istrinya pun sama, dan kakak ketiganya—Raihan, punya perusahaan konsultan kecil yang sekarang sedang mengerjakan proyek yang sangat besar, sayang... istrinya Raihan—Nina, adalah wanita terpayah yang pernah ada (setidaknya menurut Ibunya) lalu terakhir adiknya—Randi, bekerja sebagai PNS di Pemda sementara istrinya adalah Ibu Rumah Tangga,

Vica bukannya ingin warisan atau apa, tapi memang sejak kecil ia senang sekali membuat baju, mungkin karena orangtuanya senang membawanya ke toko. Jadilah, Vica seperti sekarang. Jangan salah, toko yang dikelolanya ini kini murni toko miliknya, bukan milik keluarganya lagi.

Berjalan menuju lemari tempatnya menggantung pakaian-pakaian jadi yang sudah ia bungkus rapi, Vica mengerutkan keningnya. Ada 1 paket pakaian yang belum diambil sejak satu bulan yang lalu. Padahal bajunya digunakan untuk pesta pernikahan yang katanya diadakan tanggal 1 Januari (Menurut keterangan dalam notanya). Dan sekarang, sudah 20 Februari. Malah hampir dua bulan.

Dipikir-pikir lagi, paket baju ini adalah baju untuk resepsi pengantin dan baju bridesmaid. Masa iya mereka tidak jadi menggunakannya?

"Num... Hanum. Sini coba," kata Vica—memanggil karyawannya yang bernama Hanum.

"Kenapa Teh?" Hanum datang seraya membawa satu gulungan kain di tangannya.

"Yang pesenan ini kok belum diambil ya? Ini nggak dipake atau gimana?"

"Nggak tahu juga ya Teh. Pesenan itu masuknya bukan ke aku. Kalau nggak salah sih ke si Lia. Tapi dia nggak masuk hari ini."

Vica menggaruk kepalanya yang tak gatal, "Yang bikin juga bukan aku, kayaknya Mama deh. Hmm... Oke deh. Kamu lagi sibuk?"

"Iya, ada yang beli soalnya," katanya.

"Oh, ya udah Num. Biar aku aja yang telponin orangnya," ucap Vica pada akhirnya.

Hanum kembali dengan gulungan kainnya. Vica sempat mengikuti dan ia melihat banyak sekali pengunjung ke tokonya. Ah, 'musim kawin' seperti ini memang banyak orang yang membutuhkan kain. Untuk apa? seragaman pastinya.

Meraih ponselnya, Vica mencoba untuk menghubungi nomor yang tertera pada nota pembayaran yang menempel di bajunya.

"Halo?"

Jawaban Vica dapatkan pada deringan ketiga. Ia mengerutkan kening, melihat kembali nota yang dipegangnya kemudian memiringkan kepala. Di dalam notanya, baju ini atas nama Irdina Anggi Gita, tapi kenapa yang mengangkatnya malah seorang pria?

ODIVICADove le storie prendono vita. Scoprilo ora