S E B E L A S

40.3K 5.7K 280
                                    

"Bye Dii. Mau aku temenin nggak?"

Vica yang sudah keluar dari mobil mendelik dengan ekspresi wajahnya yang enggan, "Nggak usah,"katanya seraya membanting pintu mobil. Arshad tertawa dengan keras sedang wanita itu berjalan menghentakkan kakinya dan masuk ke pelataran toko yang berada di sana.

Kawasan Tekstil Cigondewah adalah pusat tekstil terkenal yang berada di Kota Bandung, dan di sinilah pertama kalinya Arshad bertemu dengan Vica. Ya Tuhan, kalau ingat akan hal itu, Arshad selalu ingin tertawa. Sungguh.

Pria itu memutuskan untuk keluar dari mobil alih-alih pergi. Ia berjalan untuk menghampiri sebuah kios dan memesan kopi. Kalau Vica tidak mau ditemani ya tidak apa-apa, Arshad bisa menunggunya di sini seraya nongkrong di depan kios. Lagi pula mau di sini, di depan toko Vica, atau dimana pun ia berada, pekerjaan Arshad tetap sama; nongkrong.

Ia mengalihkan tatapannya, menelusuri setiap sudut dari jajaran pertokoan yang berada di hadapannya, tapi matanya bertemu tatap dengan seseorang yang tak jauh darinya. Arshad yang mengenal siapa dia tersenyum seraya melambaikan tangannya dengan heboh.

Seorang pria—yang menerima lambaian tangan Arshad terlihat ragu, namun akhirnya ia memutuskan untuk berjalan mendekat hingga kini pria itu berdiri di hadapan Arshad.

"Hey, haloooo. Inget gue nggak?" tanya Arshad dengan antusias. Senang bertemu lagi dengan orang yang pernah ia temui sebelumnya. Kalau begini kan acara nongkrongnya jadi asyik.

Pria itu—Aryan tersenyum, "Mustahil kalau nggak inget. Mas nasehatin saya kemarin," sahutnya.

Arshad cekikikan, "Itu mah bukan nasehatin. Berbagi pengalaman aja," katanya dengan ramah.

Aryan mengangguk, bingung harus merespon apa pada pria asing yang malah melambaikan tangannya dan berlaku sok akrab kepadanya. Sebenarnya sih bukan sok akrab juga, mungkin memang pria ini orangnya seperti itu.

"Oh iya, kenalin... nama gue Arshad," ucap Arshad tiba-tiba. pria itu mengulurkan tangannya dan disambut oleh Aryan dengan menjabatnya, "Aryan Dimas," sahutnya.

"Panggil Aryan saja."

"Ah, lebih enak panggil Dimas," ujar Arshad.

Aryan mengerutkan kening, tapi ya bebas saja lah. Toh bukan kewajiban juga untuknya memanggil Aryan dengan nama depannya.

"Sini bro, ngopi," tawar Arshad begitu saja.

Aryan duduk di sampingnya namun ia malah membeli minuman botolan, "Saya nggak suka kopi," katanya.

"Oh, ya bagus," sahut Arshad.

Kemudian mereka mengobrol mengenai beberapa hal yang terlihat seperti wawancara karena hanya Arshad yang bertanya lalu Aryan yang menjawab. Aneh juga memang, karena Aryan bukan orang yang bisa akrab begitu saja sementara Arshad—pria itu baru kedua kali bertemu, sudah seperti bertemu dengan kawan lama saja.

"Jadi ngapain di sini?" tanyanya.

Aryan menjawab, "Biasa. Butuh bahan kaos buat distro. Ambil dari sini, harganya miring."

"Mas sendiri ngapain di sini?"

Oke, ada kemajuan. Aryan sudah bisa bertanya sekarang.

"Abis anterin si cinta," kekeh Arshad.

"Bu Atalia?"

Keduanya tertawa, tapi Arshad heboh sekali, pria itu sampai menepuk-nepuk pundak Aryan saking antusiasnya, "Gawat itu. bisa dideportasi RK kalau anterin bu Atalia mah."

ODIVICAWhere stories live. Discover now