. . .

33.2K 3.3K 166
                                    

Aku menatap pantulan diriku di cermin, menyunggingkan senyumku sedikit dan mendengus.

Aku menatap lurus pada bola mata yang kini tengah menatapku juga.

Mengasihaninya.

Mencibirnya.

Dan bahkan bertanya kepadanya.

Berapa kali aku mengkhianati nuraniku?

Berapa kali aku membodohi diriku?

Berapa kali aku mendustakan kata hatiku?

Dan berapa kali aku mencoba hidup sebagaimana mestinya namun pada akhirnya yang kurasakan tetap sama; tersiksa.


Aku selalu takut, kalau-kalau kau tahu sebesar apa cintaku padamu.

Aku selalu takut, jika saja kau tahu betapa sulitnya hidupku tanpamu.

Aku selalu takut, bila seandainya kau tahu seberapa butuh aku akan kehadiranmu.

Aku takut, dan benar-benar takut.

Hingga aku tenggelam dalam rasa takutku sendiri.

Tanpa tahu bahwa ada rasa takut lain yang menghancurkanku lebih dari apapun.

Aku mencibir pada diriku sendiri ketika menyadari rasa takut itu.

Aku, takut bahwa kau benar-benar menghilang dari hidupku sehingga aku tidak tahu... harus seperti apa aku menata hidupku.


Aku bisa saja berlari ke arahmu tanpa tahu malu.

Aku bisa saja melupakan semua yang kulakukan padamu waktu itu.

Aku bisa saja mengatakan padamu semua perasaanku.

Namun...

Dengan luka yang masih mengakar dalam hatiku, aku tidak mampu.

Bahkan untuk melihatmu dari jauh pun, aku tak sanggup.

Sekalipun merindukanmu, yang kulakukan hanyalah berdiri di tempat yang sama.

Di depan sebuah cermin

Di hadapan pantulan diriku

Dan menertawakan hidupku yang kacau karena kepergianmu. 

ODIVICATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang