D U A P U L U H E N A M

43.9K 4.9K 391
                                    

 "PAKET!"

Rina menghela napas dengan kesal. Sejak satu bulan lalu, setiap harinya minimal ada dua kurir yang ke rumahnya dan mengantarkan paket untuk Vica yang isinya pasti aneh-aneh saja. Seperti kemarin, ada kurir yang mengantarkan paket berupa jepitan rambut, isinya hanya tiga biji saja tapi rupanya paket itu dikirim dari China! Astaga, anaknya itu apa-apaan? Beli jepitan rambut harus sampai China?

Tidak sampai di situ saja, yang paling membuat Rina kesal adalah beberapa paket yang dikirimkan ke rumahnya berupa DVD film Original yang Vica beli secara langsung lewat Amazon atau apalah itu situs-situs luar negeri dan karena DVD itu sampai di rumahnya, setiap malam anaknya yang satu itu menonton DVD sampai malam, bahkan sampai ketiduran. Masih mending kalau Vica tidak menambah pekerjaan baru di rumah ini. Masalahnya Vica kadang menonton bersama saudara-saudaranya di ruang tamu seraya memakan camilan dan memesan banyak makanan, atau kadang dia menonton sendiri di kamarnya, tapi kondisi kamarnya malah berantakan tak karuan.

Kalau DVD nya bisa berbicara, ia pasti sudah berteriak-teriak karena kelelahan dipakai sepanjang malam, setiap harinya.

Rina pernah bertanya pada Vica akan kebiasaan barunya, tapi anaknya itu malah berkata, "Banyak banget film yang Vica lewatin Ma, lagian filmnya rame-rame, nggak asik kalau ditontonnya nanti lagi."

Ah... jadi seorang ibu memang tak akan bisa merasa tenang sepanjang hidupnya.

"Mas, jangan bosen anter paket ke rumah saya ya," kata Rina.

Kurir di hadapannya tersenyum, "Udah tugas saya bu," katanya.


*****


"Del, Adel... Adel. Nanti sore kita belanja yuk! Katanya di Miniso ada diskon 50%. Eh ajak Hanum juga deh, dia bukannya pengen beli teflon miniso ya? Karena lucu gitu warna tosca," ucap Vica dengan antusias. Berbanding terbalik dengan Adel—lawan bicaranya yang malah menghela napas.

"Duit lo sebanyak apa sih Vic gue heran deh. Tiap hari ngemall terus perasaan. Ya, oke sih miniso diskon, tapi lo mau beli apalagi Iroh?! Semua barang miniso dari sendal, teko, bahkan sampe prentelan kayak alat jahit aja lo udah punya! Lo mau buka franchise miniso di rumah?"

Melihat respon Adel, Vica terkekeh, "Gue masih belum punya bantal leher yang warna biru Del, nail polish nya juga yg peel off gue belum beli yang burgundy."

"Halah, bantal leher. Lo mau kemana emangnya? Dipake juga enggak."

"Yey. Gue pake kali, sambil ngejahit kan suka gue pake. Ya udah kalau lo nggak mau nemenin mah, gue bisa ada alesan buat minta anter kak Dimas, hihihi."

Menggelengkan kepalanya, Adel berdecak karena tingkah Vica yang di luar batas kemampuan berpikirnya. Iya loh, sudah satu bulan ini Adel tak bisa berpikir menjadi Vica, ia benar-benar tidak paham dengan jalan pikiran sahabatnya itu. Vica baik-baik saja adalah hal yang patut ia dan keluarganya Vica syukuri, tapi masalahnya... wanita itu seperti kuda yang baru lepas dari kandangnya.

Vica seperti manusia yang baru menemukan kebebasannya. Setiap ada hal baru, ia pasti mencobanya, setiap ada tempat baru, ia pasti mendatanginya. Setiap ada barang baru, ia pasti membelinya, dan setiap ada makanan baru, tentu saja ia akan memborongnya. Ya bagus sih, Vica jadi amat sangat dermawan, ia mentraktir semua karyawan toko hampir setiap hari. Tapi yang jadi masalah... memangnya duit si Vica ini tidak habis ya?

ODIVICAWhere stories live. Discover now