(11)

5.9K 569 57
                                    

Kenapa aku memilihnya?
Ya, karena aku tak mau yang lain.
Memangnya harus apa lagi?
Toh, aku tidak peduli.
Dia sadar atau tidak.

-Ur

BIRU mengantarkan gadis itu sampai rumahnya dengan selamat. Venus turun dari motor dan menyerahkan helm yang tadi dia pakai ke arah Biru, sebelum akhirnya tersenyum lagi entah sebab apa. Keduanya berjalan masuk melewati gerbang dan memutuskan duduk di teras rumah sambil menunggu Bunda pulang dari arisan. Biru menoleh dengan pandangan heran, gadis ini tidak ketempelan penghuni Pulau Bidadari kan?

"Ven, lo sehat?"

"Sehat jasmani dan rohani malahan." jawab Venus dengan senyum mengembang.

"Jangan senyum mulu, nggak baik."

"Kan senyum itu ibadah Biru. Biru tuh yang harusnya perbanyak senyum."

Biru melirik Venus sekilas sebelum mengetikkan balasan pada orang di seberang sana, "Gue diem aja banyak yang suka, gimana gue senyum terus."

"Buktinya Venus nggak suka tuh, padahal udah liat gimana senyumnya Biru."

"Ya kan soalnya.."

"Soalnya apa?" tanya Venus membuat Biru mendongak.

"Soalnya Langit ada disini." tunjuk Biru pada bagian atas perut Venus sebelah kanan, tepat di bawah diafragma. "Hati lo, perasaan lo."

"Ven,"

"Iya?"

"Gue tuh kadang mikir, gue kayak pelangi, yang bisa datang dan pergi kapan aja. Sekali gue datang, itu pun cuma sebentar. Sedangkan Langit, dia mirip kayak matahari, selalu ada sebagai cahaya dalam kehidupan lo."

Venus diam, menunggu Biru melanjutkan ucapannya.

"Gue yakin, sekalipun gue hilang, lo nggak akan kebingungan. Karena memang dari awal, gue terlalu redup."

"Biru..Biru kenapa ngomongnya jadi panjang?"

Biru menghela nafas pelan, "Gue selalu ibaratin lo sebagai hujan. Biar lo tau, gue sebenernya selalu ada di deket lo, bahkan disaat matahari sengaja buat gue nggak begitu terang."

"Biru?"

Biru diam kali ini, matanya menatap datar manik coklat milik Venus.

"Gimana kalau justru bagi Venus, Biru itu seperti Planet Uranus? Biru bukan pelangi, Biru lebih dari itu."

"Planet Uranus itu diselimuti awan tebal, yang bikin siapapun sulit menyelidiki permukaannya," Venus menghentikan ucapannya dan tersenyum.

"Dia memiliki rotasi yang sama seperti Planet Venus, sama seperti pikiran gue yang kadang bisa nyambung kalau sama Biru. Tapi, Planet Uranus itu terlalu dingin Biru, dan Venus nggak mungkin bisa hidup kalau sama Uranus, Venus butuh matahari."

Biru diam dan mengangguk, Venus memang akan selalu butuh Langit.

"Venus bener, Biru adalah planet Uranus. Memang nyata, tapi cahayanya terlalu redup, perputarannya lambat."

Venus mengangguk lagi, "Kadang Venus mikir kalau Biru itu memang berasal dari sana. Biru indah, tapi terlalu sulit untuk dijamah, seperti Uranus."

"Satu pesan gue buat lo, Venus."

"Jangan pernah suka sama Biru?" tanya Venus langsung sambil terkekeh.

"Iya, tapi kalau lo butuh, gue masih ada."

Venus mengernyit, "Masih? bukan tetap?"

"Seperti yang gue bilang, gue bisa pergi kapan aja."

Venus menunduk, menatap ujung sepatunya sambil memutar-mutar topi yang ia pegang dengan jari telunjuk. Pikirannya mulai terfokus untuk memahami seseorang di sampingnya. Biru terlalu nyaman untuk akhirnya dilupakan. Meski Venus sendiri tahu cahayanya tidak pernah bisa seterang Langit, tapi dinginnya menyejukkan.

BIRUWhere stories live. Discover now