(24)

4.7K 591 77
                                    

Karena tidak selamanya,
yang terlihat tidak ada itu
memang tidak ada.

-Ur

Tanpa ia sadari, Venus tersenyum setelah membaca surat dari Biru. Jantungnya belum kembali normal, matanya masih sibuk membaca tulisan itu berulang kali. Ia rindu pemilik tulisan ini, ia rindu segala hal yang berkaitan dengan Biru. Ketika tangannya hendak membuka bungkus itu, ponselnya berdering, tertera nama bundanya disana. Membuat gerakannya seketika beralih ke ponsel.

"Halo, ada apa bun?"

"..."

"Oh, iyaa Venus ganti baju dulu baru kesana, bye bunda."

Gadis itu mematikan sambungan teleponnya dan segera bangkit menuju kamar, membawa serta bungkusan yang katanya dari Uranus.  Venus meletakkannya di rak buku dan bergegas ganti baju sebelum mengambil kue pesanan bundanya untuk urusan kantor. Tanpa ia sadari pula, gadis itu telah membiarkan dirinya sendiri lebih lama mengetahui tentang rahasia Biru.

---

Malam telah tiba, Venus dan teman-temannya sudah tiba di cafe baru milik Arya. Manda yang barusan kembali dari kasir untuk mengambil pesanan minuman mereka kembali tersenyum ketika di bangku mereka sudah duduk Arya dan Elena.

"Kemana aja kalian? lama banget perasaan."

"Lo kali yang kecepetan."

Manda manggut-manggut, "Perasaan Arya kalau naik motor ngebut banget deh, kok kayaknya malem ini nggak sih."

"Jangan mulai deh." Elena memutar bola matanya membuat Manda semakin tertawa puas.

"Hari ini gue lagi males belajar." Kalimat itu bukan dari Alan, tapi justru dari Venus. Membuat suasana di antara mereka hening seketika.

"Demi apa, Ven?"

"Nggak tau, lagi capek aja."

Arya mengangguk paham, "ya udah nggak papa, kita nongkrong aja malem ini."

"Nah, gue suka nih kalau bidadari lagi gini. Males banget lho aku disuruh belajar." Kini Alan menyahuti dengan ekspresi bahagianya.

Obrolan mereka pun akhirnya merembet kemana-mana. Tapi sebisa mungkin, Biru tidak diungkit-ungkit dalam obrolan malam ini. Mereka tahu Venus sedang berusaha mati-matian untuk melupakan cowok itu. Ya walaupun butuh usaha luar biasa keras.

Ketika jam sudah menunjukkan pukul 22.00, mereka memutuskan untuk pulang ke rumah masing-masing. Sudah cukup obrolan malam hari ini, sudah cukup pula candaan mereka beberapa jam yang lalu. Kini saatnya istirahat, apalagi Venus.

"Makasih ya, Alan."

"Sama-sama bidadari, kalau butuh tumpangan bilang aja."

Venus tersenyum, "nggak mau ah, nanti dimarahin anak kelas sebelah."

"Aduh, gue tiba-tiba nggak denger."

"Udah sana," Venus terkekeh.

"Pulang dulu ya bidadarinya Bi.. Bimasakti!!" Alan segera melajukan motornya, merutuki kebodohannya barusan yang hampir menyebutkan nama Biru di depan Venus. Tapi sepertinya, Venus tidak menyadari hal tersebut.

Gadis itu merebahkan diri di atas kasur setelah berganti pakaian. Tangannya sibuk memainkan ponsel sambil mengambil satu persatu potongan apel yang barusan ia bawa dari dapur. Ketika ponselnya ia letakkan, matanya tidak sengaja menatap bungkusan coklat yang barusan ia ingat belum dibukanya.

"Astaga, Venus!"

Gadis itu bergegas mengambil bungkusan itu dan segera mengatur posisi yang paling nyaman untuk duduk di atas kasurnya. Menyiapkan segala hal terhadap kemungkinan-kemungkinan yang menyakitkan. Satu persatu bagian ia buka hati-hati, hingga terlihat kotak berukuran sedang bewarna hitam. Warna kesukaan seseorang yang namanya justru menggunakan warna lain.

BIRUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang