LLD 4 : Ask Him for A job

815 25 1
                                    

Rumi melepas baju dokternya dan berjalan pelan meninggalkan rumah sakit. Ia mengeluarkan kunci mobilnya dan berniat untuk membuka pintu mobilnya saat tiba-tiba matanya menangkap sosok seseorang yang sedang duduk termenung di taman rumah sakit. Ia menyipitkan matanya dan tanpa perlu melihat dua kali, dia sudah mengenali siapa sosok itu.

“Ervan? Ngapain dia malam-malam di sana?” bisiknya. Ia membatalkan niatnya untuk pulang dan menghampiri pria itu.

“Ervan?” panggilnya seketika menghentikan lamunan laki-laki itu. Rumi duduk di samping Ervan tanpa menunggu dipersilahkan oleh pria itu.

“Kamu ngapain di sini malam-malam?” tanya Rumi.

Ervan mengangkat bahunya. “Gak ngapa-ngapain, cuma mendadak mau lihat bintang-bintang aja. Kamu sendiri ngapain di sini? Udah jam sebelas, lho. Gak pulang?” tanya Ervan balik.

“Tadi mau pulang, tapi lihat kamu asyik banget liatin langit jadi pengen juga,” ucapnya sambil sedikit tergelak. “Masih mikirin kejadian beberapa hari yang lalu, ya?” tanyanya lagi.

Ervan menoleh menatap Rumi. “Enggak, kata siapa?”

Rumi mengernyitkan dahinya. “Hmm, kata bintang? Rumput yang bergoyang?” candanya. Lalu detik selanjutnya ia tertawa terbahak melihat ekspresi Ervan yang bingung. “Ervan… Ervan… Kamu tuh lucu, ya. Ekspresimu itu lho, gak nahan. Emang aku udah kenal kamu itu berapa lama sih? Setahun, dua tahun? Udah gak kehitung tahunan, Van! Kamu masih nanya kata siapa? Hahahaha…”

“Ervan, aku bisa lihat apa pun dari mata kamu. Kamu bilang ‘enggak’ tapi barusan mata kamu bilang ‘iya’. Well, jangan pernah coba menipuku,” sambung Rumi.

Ervan menggaruk tengkuknya malu karena ketahuan berbohong. “Iya, Mi, aku masih mikirin kejadian itu. Aku menyesali keegoisanku, Mi. Kalau aja aku menolong wanita itu, mungkin sekarang dia masih hidup. Aku gak tega dengan anak kecil yang bernama Dimas itu, dia masih terlalu kecil untuk kehilangan orangtuanya. Itu karenaku, Mi, karena aku egois.”

“Hmm, ya, aku gak mau bohong untuk kali ini. Kamu emang egois dan bodoh saat itu. Tapi ini gak sepenuhnya salah kamu, itu udah takdir Tuhan, Van. Yah, aku juga tahu pasti kok apa yang dirasakan Dimas, aku juga yatim piatu seperti dia.”

“Tapi aku mau meperbaiki semuanya, Mi. Dua hari yang lalu aku mencoba menawarkan Thifa untuk bekerja di rumahku sebagai ungkapan rasa sesalku. Tapi gadis keras kepala itu menolaknya dan lebih parah lagi, dia mengundurkan diri dari restoran,” ujar Ervan jengkel.

“Apa? Thifa mengundurkan diri? Kalau dia udah gak kerja, lalu gimana caranya dia membiayai anak itu?” tanya Rumi khawatir.

Ervan mengusap wajahnya putus asa. “Itu dia masalahnya. Aku memikirkan nasib anak kecil itu. Kalau gadis bodoh itu tak punya penghasilan lagi, apa yang akan terjadi selanjutnya dengan Dimas? Bagaimana masa depannya nanti?”

“Kamu gak mau mendatangi Thifa langsung?” tanya Rumi.

“Ck, kamu tahu aku gak akan pernah melakukan itu,” ucapnya tegas. Senyum Rumi perlahan mengembang.

“Ya, kamu gak akan pernah melakukannya karena gengsimu terlalu tinggi. Dan percaya atau tidak, itu salah satu bentuk keegoisanmu yang lain,” ucapnya dengan nada yang lembut namun tidak bisa disangkal sama sekali oleh Ervan.

“Sesekali mungkin kamu bisa menurunkan rasa gengsimu, Van. Sedikit saja. Lagi pula gadis itu gadis yang manis, kok. Kamu aja yang terlalu jengkel sama kecerobohannya jadi gak bisa lihat sisi baiknya dia. Pikirin lagi, Van, jangan sampe keegoisan kamu berbuah penyesalan lagi.” Ervan hanya diam.

“Udah malem, aku pulang ya. Jangan terlalu lama di sini, nanti masuk angin,” ucap Rumi kemudian sambil menepuk pelan bahu Ervan.

Ervan, meskipun aku tak bisa memilikimu, menjadi tempat curahan hatimu pun sudah cukup bagiku. Biarkan aku jadi sandaranmu dan tempat keluh kesahmu, ucap Rumi dalam hati.

Lathifa's Last DreamWhere stories live. Discover now