LLD 8 : His Feelings

828 21 1
                                    

Lathifa berlari cepat untuk membukakan pintu saat bel berbunyi. Ia tersenyum riang mendapati Ervan di sana.

“Ervan? Ada apa ke sini? Mau ketemu Dimas, ya?” tanyanya menebak.

Ervan menggeleng sambil tersenyum misterius. “Aku mau ketemu kamu.”

“Aku? Mau ngapain? Kok tumben?” tanya Lathifa bingung walaupun sebenarnya jantungnya mulai berdetak cepat.

“Thif, kamu mau mimpimu jadi nyata gak?” tanyanya. Lathifa mengerutkan dahinya bingung.

“Sebulan yang lalu aku mengirim naskah kamu yang ada di komputerku ke temanku yang punya perusahaan percetakan. Dan tadi, aku dapat telpon darinya, dia bilang dia bersedia menerbitkan novelmu,” ujar Ervan sambil tersenyum lebar.

Lathifa menutup mulutnya tak percaya. “Kamu serius??” Ervan mengangguk yakin.

“AKU JADI PENULIS!!!” teriak Lathifa kemudian dengan senang. Ia memeluk Ervan erat saking bahagianya. Ia tak sadar bahwa kini jantung Ervan yang gantian berdetak tak menentu.

“Makasih, Van, makasih karena kamu mau membantuku menerbitkan naskahku!” ujarnya sambil tertawa. Ervan hanya membalas pelukannya dengan canggung. Hatinya terasa bahagia bisa membuat gadis itu mewujudkan impiannya yang dulu terasa mustahil untuknya.

“Terus kapan aku harus ke sana?” tanya Lathifa sambil melepas pelukannya.

“Besok. Biar aku yang temani,” jawab Ervan. Lathifa tersenyum puas menatap Ervan.

***

“Wah, aku pesan bakso aja deh,” ujar Lathifa sambil melihat daftar menu.

“Oke, bakso dua ya, Mbak. Sama ice lemon tea dua juga,” ujar Ervan pada sang pelayan. Saat ini Ervan dan Lathifa sedang berada di sebuah restoran dekat perusahaan percetakan yang mereka kunjungi. Mereka sengaja mampir karena sudah waktunya makan siang.

“Gimana, Thif, sama kesepakatan tadi? Kamu gapapa sama keuntungan yang mau mereka bagi?” tanya Ervan membuka percakapan.

“Aku sih gak masalah, Van. Aku gak terlalu mikirin juga karena yang paling penting itu naskahku bisa terbit,” jawab Lathifa santai.

Ervan tersenyum hangat. “Yah, kalau udah punya mimpi emang yang terpenting itu bisa terwujud sih.”

Tak lama kemudian pesanan mereka datang. Mereka pun diam sesaat sibuk dengan makanan masing-masing. Lima belas menit berlalu dan mereka pun santai kembali.

“Hmm, Thif?” panggil Ervan ragu. Lathifa menyedot minumannya kemudian mendeham menanggapi panggilan Ervan.

“Apa?” tanya Lathifa karena Ervan tak kunjung menjawab.

“Hmm, kamu udah punya pacar?” tanya Ervan kemudian.

Jantung Lathifa kembali berdetak cepat. Ia tak menyangka Ervan malah menanyakan hal ini, ia tak pernah memikirkan sebelumnya soal ini. “Pacar? Hmm, enggak ada. Kenapa, Van?”

Ervan menarik napasnya lega. Ia terlihat sedikit tenang. Tapi itu hanya berlangsung sesaat karena detik berikutnya keringat dingin mulai membasahi wajahnya. “Thif? Hmm…”

Lathifa menatapnya menunggu kalimat selanjutnya yang ingin diucapkannya.

“Hmm, Thifa, aku jatuh cinta sama kamu. Will you marry me?” ucap Ervan memberanikan diri.

Lathifa membeku di tempatnya. Dia memang tak jago bahasa inggris, tapi dia tahu persis arti kalimat tadi. Ervan ingin dia menikah dengannya?

Lathifa tersenyum kikuk dan menunduk. “Mungkin kamu salah mengartikan perasaanmu, Van. Gak mungkin kamu bisa jatuh cinta sama aku.”

Lathifa's Last DreamDonde viven las historias. Descúbrelo ahora