Epilog : This is The Last

1K 28 5
                                    

Ervan menggenggam erat tangan Lathifa melewati kerumunan wartawan dan orang-orang yang sedang menanti kehadiran mereka. Hari ini tepat tiga bulan setelah pertunangan Ervan dan Lathifa berlangsung. Kini mereka sedang menghadiri sebuah acara temu fans karena novel Lathifa yang sudah terbit langsung menjadi best seller dalam waktu satu bulan penjualan. Agenda mereka adalah sapaan Lathifa pada para penggemarnya dan tanda tangan serta foto bersama dengan mereka.

Acara pertama pun langsung dimulai saat Lathifa menyatakan siap. Gadis itu pun berjalan menuju ke atas panggung disambut dengan tepuk tangan para hadirin.

“Selamat siang semua,” sapanya memulai. Mereka yang hadir menjawab ‘baik’ dengan serempak.

“Terima kasih atas kehadiran kalian dalam temu fans ini. Terima kasih saya ucapkan pada Tuhan yang masih memberi saya kesempatan untuk mewujudkan mimpi saya. Dulu menjadi penulis hanya sebatas angan bagi saya, tapi sekarang semua telah terwujud berkat bantuan dari banyak pihak. Terima kasih saya ucapkan untuk Kak Rumi, Kakak saya yang selalu menyayangi saya. Pada Ervan, tunangan saya yang ikut membantu dalam terbitnya novel ini. Dan terima kasih juga untuk para pembaca yang sangat antusias menerima novel saya.”

Rasa sakit menjalari dadanya sejenak tapi ia tetap menahannya dan melanjutkan, “Saya mungkin bukanlah penulis yang berpengalaman. Ini adalah karya pertama saya di dunia jurnalistik. Awalnya saya pun ragu novel ini akan terjual di pasaran. Bahkan saya amat kaget melihat antusias kalian di sini. Saya tidak bisa berucap banyak, seribu terima kasih pun mungkin takkan bisa menyampaikan rasa bersyukur saya. Sekian dari saya, selamat siang.” Tepuk tangan kembali mengiringi penutupan sambutan Lathifa. Ervan yang setia berdiri di samping panggung tersenyum menatap gadis itu.

Di sisi lain Rumi sedang memacu mobilnya menuju tempat jumpa fans yang dihadiri Lathifa. Barusan ia mendapat kabar bahwa donor jantung untuk Lathifa sudah tersedia. Dia merasa amat senang dan langsung ingin menemui Lathifa untuk memberikan kabar itu agar operasi bisa segera dilaksanakan.

Satu jam kemudian ia sampai di tempat itu dan langsung berjalan menembus kerumunan wartawan. Ia menatap berkeliling dan menemukan Lathifa sedang memberi sambutan di atas panggung. Ia terdiam mendengarkan kata demi kata yang diucapkan adiknya. Perlahan ia berjalan mendekat dan baru sadar bahwa adiknya terlihat pucat.

Setelah sambutannya selesai, Lathifa berjalan menuruni panggung dan menuju tempat Ervan menunggunya. Rumi ikut menghampiri mereka.

“Thif, kamu sakit? Wajah kamu pucat banget,” tanya Ervan khawatir. Lathifa hanya diam dan mencoba tersenyum menenangkan. Detik selanjutnya gadis itu langsung jatuh lemas di pelukan Ervan. Rumi berlari ke arah mereka. Ervan terlihat panik.

“Van, bawa Thifa ke rumah sakit sekarang. Kita akan langsung melakukan operasi untuknya!” perintah Rumi cepat. Ervan terlihat kaget dengan kedatangan gadis itu sesaat lalu segera tersadar dan menggendong Lathifa ke dalam mobil Rumi. Mobil mewah itu pun melaju dengan cepat menuju rumah sakit.

“Kamu bilang apa, Mi? Operasi? Memangnya Thifa sakit apa?” tanyanya di dalam mobil. Rumi menatap jalanan di depannya.

“Thifa menderita kelainan jantung dari lahir, Van. Aku baru aja mau ngabarin kalian kalau aku udah dapat donor jantung untuk dia,” jawab gadis itu. Ervan terdiam. Ia sama sekali tak tahu kalau Lathifa menderita penyakit mematikan itu. Seketika ia merasa bodoh dan entah mengapa dirinya seolah merasa akan kehilangan gadis itu.

Mobil itu dilanda keheningan hingga tiba di rumah sakit. Dengan cepat Lathifa dibawa ke ruang operasi dengan Rumi sendiri yang akan menanganinya. Semua perawat menyiapkan peralatan dan Rumi memakai baju operasinya. Saat ia akan masuk ke dalam ruang operasi, Ervan menahan lengannya. Gadis itu menoleh dan menatap mata Ervan.

Lathifa's Last DreamWhere stories live. Discover now