35

8.7K 898 135
                                        


"PR-nya udah dikerjain, Tal?"

"Udah, Yo." Gue membuka buku agenda gue, mencari lembaran yang selama seminggu ini gue isi.

Minggu lalu Dio memberi gue PR untuk menuliskan ketakutan-ketakutan ataupun kekhawatiran yang gue rasakan, semua hal yang negatif yang ada di pikiran gue harus gue catat.

"Ini buat apa Yo?" Gue menyerahkan buku gue kepada Dio, sambil menunggu penjelasan darinya. Hari ini pertemuan ketiga gue dengan Dio.

Setelah sebelumnya Kai tau soal penyakit gue dan obrolan kita dua hari yang lalu, gue melanjutkan pengobatan gue. Kai menerima keadaan gue yang kayak gini, walaupun sebelumnya gue udah pasrah kalau misalnya dia memutuskan buat ninggalin gue.

Kai mengingatkan tentang kata-kata yang pernah gue ucapkan, saat dia bertanya kenapa lebih memilih gue dibandingkan Srestha. Ketika suami dan istri rukun, anak dan semua keluarga akan bahagia. Karena menurut Kai masalah di pernikahan kita pasti bisa diatasi, semua masalah pasti ada jalan keluarnya.

Dia juga mengingatkan gue untuk selalu mengingat tujuan awal saat kita memutuskan untuk menikah. Memutuskan untuk hidup bersama, berjanji di hadapan Tuhan untuk bersama sampai tua. Bukan hanya untuk setahun dua tahun saja.

Kita berdua akan berjuang, melawan penyakit gue. Bersama-sama.

Di titik ini gue merasa sangat beruntung bahwa Kai adalah suami gue. Gue bener-bener bersyukur karena dia mau menerima gue dan menemani gue dalam keadaan apapun.

Dengan semua ucapan Kai, gue semakin berniat untuk sembuh. Banyak orang yang sayang sama gue, jadi gue juga harus lebih menyayangi diri gue.

*

Hari ini saat gue bilang bahwa ini jadwal gue ketemu Dio, sebenernya Kai memaksa buat ikut gue ketemu sama Dio tapi gue menolak karena ngerasa nggak nyaman kalau harus sama Kai. Gue masih belum terbiasa Kai mengetahui penyakit gue.

Mungkin lain kali gue baru mau ngijinin dia buat nemenin gue.

"Kita coba terapi CBT ya, Tal."

Kemudian Dio menjelaskan tentang terapi CBT (Cognitive Behaviour Therapy). Terapi perilaku kognitif yang akan dia gunakan untuk pengobatan gue.

"Kai pulang telat, mungkin dia pergi sama temennya itu."

"Gue takut kalau Kai tau gue sakit dan dia bakalan ninggalin gue."

"Kai pasti kecewa saat tau istrinya sakit mental."

"Kai menemukan resep gue. Dia curiga kalau gue sakit. Gue takut."

Dio membaca beberapa hal yang gue tulis dalam buku agenda gue. Semua pikiran negatif yang mampir ke otak gue selama seminggu ini.

"Dari semua yang udah lo tulis ini semuanya asumsi atau ada yang merupakan fakta, tal?" Dio menutup buku dan mengembalikannya gue.

"Asumsi, Yo." Karena nggak ada yang kejadian satupun. Semuanya asumsi dari ketakutan gue.

"Otak itu organ yang luar biasa tapi kadang dalam proses berpikir dalam situasi tertentu tanpa disadari kadang-kadang kita langsung melompat ke simpulan akhir tanpa menimbang fakta yang ada, sering menggeneralisir sesuatu, ataupun kecenderungan melihat sisi negatif dari suatu hal." Dio tersenyum sambil memberikan penjelasannya ke gue.

"Ini namanya distorsi kognitif, kesalahan logika kita dalam berpikir. Seperti yang udah lo tulis, hampir semuanya adalah prediksi negatif, overgeneralization, ataupun pandangan negatif tentang diri yang lo ciptakan sendiri karena masa lalu yang udah lo alami." Gue mengangguk-angguk menyetujui ucapan Dio.

Ad Astra Per AsperaWhere stories live. Discover now