7' Chance

1.8K 93 0
                                    

Bukaan pintu yang keras menandakan Arda pulang. Ia berjalan dengan memutar-mutar kunci motornya begitu girang.

"Dari mana lo?" tanya Alan.

"Abis nganterin Alista." Arda tersipu malu ketika ia menjawab pertanyaan sang kakak.

"Alista?" Alan heran seraya mengusap rambut basahnya dengan handuk karena baru saja selesai mandi.

"Bang, besok-besok gue pinjem motor lo ya. Motor gue, gue mau bawa ke bengkel, suaranya gak enak." Arda memukul lembut dada bidang kakaknya itu.

"Ih aneh banget tuh anak. Kesambet apaan dia belajar di luar."


Hari itu, hari libur Alista mengajar privat. Waktunya ia kembali mengajar di kampus. Seperti biasa, para mahasiswa itu menggodanya lagi. Walaupun hal itu sudah lumrah, tapi tetap saja membuat Alista lama-lama risih. Serasa tak dihargai, namun ia harus terus bekerja untuk menyambung hidupnya dan sang adik.

"Sabar Lis, sabar. Mereka belum kelewatan kok," batin Alista menguatkan dirinya.

Kampus mengadakan seminar tentang kewirausahaan. Salah satu pemimpin perusahaan terkenal bernama Bussines Star datang untuk menjadi narasumber saat itu.

Alista berjalan menuju tempat seminar untuk sekedar menghadirinya. Saat di tengah jalan, ia tak sengaja menabrak seseorang yang sedang memegang selembar kertas. Alista dan lembaran kertas yang dipegang orang itu pun ikut jatuh. Ia mencoba mengambil dan memberikannya pada orang itu. Matanya melebar kaget ketika mereka saling menatap.

"Gurunya Arda?" Alan kaget. Karena, wanita yang baru saja tertabrak olehnya itu adalah Alista.

Alista menatap Alan dengan terdiam. Mereka akhirnya berbincang di suatu tempat sebelum seminar dimulai.


"Jadi, kamu dosen di sini?"

"Sudah satu tahun saya menjadi dosen di sini, dan kamu? Kamu ngapain di sini?" tanya balik Alista dengan intonasi begitu ramah.

"Saya? Saya ngisi seminar," ujar Alan seraya menunjukkan kartu namanya.

"Bussines star? Ini ... jadi kamu dari Bussines Star?"

"Seharusnya Ayah saya yang datang ke sini. Tapi apa daya, beliau sudah meninggal dua tahun yang lalu. Adi Banaputra, siapa yang gak tau dia. Beliau meninggal dalam kecelakaan mobil. Saya merasa bertanggung jawab apapun yang menyangkut perusahaan. Dengan senang hati, saya bisa diundang di kampus ini untuk pertama kali."

Alista membulatkan matanya terkesiap. Mendengarkan cerita Alan, membuatnya teringat akan kehidupannya. Ia bahkan baru tahu kalau Bu Laras selama ini adalah single parents. Ya, hal itu lagi-lagi menguatkan dirinya untuk terus semangat menjalani kehidupan tanpa mengeluh.

"Jadi curhat gini, ngomong-ngomong saya jadi narasumber di sana, saya sama kakek saya. Acara mau dimulai, saya duluan ya."

Kisah Alan, lagi-lagi mengingatkannya pada kisah hidupnya. Ia mulai membayangkan sosok orangtuanya ada di sampingnya, tersenyum bagai bunga yang mekar, bercahaya seperti mentari yang menyorot. Lumrah sekali bagi Alista seperti itu. Walaupun orangtuanya sudah tiada. Namun, hatinya berkata bahwa kedua orang tersayangnya selalu ada di sampingnya. Mereka lah yang membuat Alista kuat menjalani hidup bersama kedua adiknya selama ini.

Kedua kaki menapak pada halaman rumah yang berdiameter tidak terlalu luas juga tidak terlalu sempit. Ia begitu tenang melangkah menuju rumah. Namun, bukan hanya kedua kakinya yang ikut melangkah saat itu.


"Kakak!" Suara lantang Reka keluarkan dan akhirnya membuat Alista begitu terkejut.

"Siapa lo siapa? .... Reka, bikin kaget aja. Kamu udah pulang?"

"Kak, mukanya kenapa? Kok gak kayak biasanya?"

"Apa? Muka kakak emangnya kenapa?"

"Itu ada bekas makanan di pipi, ahahah." Reka terkekeh setelah berhasil mengejek sang kakak.

"Anak ingusan, berani lo ya jailin kakak lo."

Mereka tak luput dari canda juga tawa. Saudara yang memang sungguh melengkapi satu sama lain. Dikejarnya adik kesayangannya itu dengan langkah cepat memasuki rumah.

"Reka, tungguin kakak."

Mereka berdua terduduk di sebuah sofa menonton televisi. Reka yang wajahnya terlihat begitu lelah, mulai tertidur di pangkuan sang kakak secara tiba-tiba. Dan beberapa menit kemudian, Reka malah tertidur dengan nyaman membuat Alista begitu iba melihatnya.


"Dasar, dia gak pernah berubah. Dulu sama ibu, sekarang sama gue. Maafin kakak ya Reka, kakak belum bisa bahagiain kamu sekarang." Alista bergumam dengan tangan lembutnya mengusap-usap kepala Reka yang terlelap tidur di pangkuannya.

ALISTAWhere stories live. Discover now