35' Hati yang Sadar

1.2K 41 0
                                    

Disamping kebahagiaan Alista dan Alan, Arda tengah melamun di kamarnya, memikirkan keberangkatan Tia yang ingin ke Belanda. Alista masuk kamar Arda membawakan catatan untuk ia pelajari. Alista memanggil, namun Arda masih nyaman dengan lamunannya. Ia kemudian terduduk di samping Arda yang sekarang menjadi adik iparnya itu.

"Ada apa?"

"Eh kak Alis, nggak kok. Catatan? Kenapa cepat banget, gue bisa kok belajar sendiri."

"Gak betah Da, udah biasa kayak gini. Kamu jangan canggung, anggap aja saya ini terus jadi guru privat kamu dan kali ini gratis."

Arda ikut tersenyum. Beberapa detik kemudian, wajahnya murung kembali.

"Arda, ada apa?"

"Kak Alis, lo pernah gak sih ngerasa gak rela kalau orang yang lo kenal lama, pergi?"

Alista sedikit terkejut mendengar pertanyaan Arda, dirinya malah tersenyum lebar.

"Kadang, rasanya ... itu kayak kesal yang tertahan, sakit atau kecewa. Yang dirasain orang yang ditinggal pasti kayak gitu. Emangnya ada masalah apa Arda? Kamu gak usah canggung lagi sama kakak, Reka sering curhat sama kakak, dan kamu .... kamu gak usah sungkan lagi sama kakak."

"Tia mau pergi kuliah di luar negeri kak." Arda sedikit canggung menceritakannya.

"Terus masalahnya apa?"

"Emm ... itu ... emm maksudnya .
.. ya kan Tia teman gue dari kecil, setiap ada waktu luang kita sering kumpul di markas, terus nanti kalau gak ada dia gimana .... masa pergi gitu aja sih, gak asik."

"Jadi kamu gak mau Tia pergi?" Alista tersenyum tajam padanya.

"Hah? Maksudnya tuh ... itu tuh ...." Arda salah tingkah sendiri.

"Arda, bukannya maksud Tia baik ya buat belajar di sana?"

"Ya gue tau, tapi kan kak, gue baru sampe di rumah dia karena dia udah lama gak ke markas, dan setelah gue sampai sana, masa dia bilang mau pergi. Aneh tuh anak."

"Arda, belajar dari hal yang kecil, ibarat kata kamu pengin makan nasi tapi nasinya dimakan Alan, padahal nasi sepiring itu satu-satunya nasi yang tersisa, apa yang kamu rasain?"

"Ya kecewa lah, gue kan lapar. Terus kalau gue gak makan, gue kelaparan dong kalau itu cuma satu-satunya nasi yang tersisa."

"Nah, terus kamu kelaparan dan kamu diem aja? Nggak kan? Kamu pasti cari nasi itu di manapun dia ada, mau di resto, tempat makan dan lain-lain. Kamu ngerti apa omongan kakak?"

"Jadi lo maksud nasi itu ... Tia?" tanya Arda polos.

"Brilliant."

"Intinya, ketika kamu menginginkan sesuatu kamu butuh perjuangan untuk dapatin itu." Alista langsung pergi meninggalkan Arda.

Arda berpikir keras karena perkataan Alista membuatnya sedikit bingung. Ia mengingat lagi hari-harinya bersama Tia. Ketika Arda terluka, Tia selalu ada untuknya. Ketika Arda bahagia, bahkan Tia orang pertama yang ikut bahagia. Dan ketika Tia tak ada di sisinya, Arda merasa kesepian. Sungguh, perasaan itu yang membingungkannya saat ini. Tapi, jujur saja Arda tak bisa jika Tia pergi dari sisinya. Ia berlari dari kamarnya dengan tergesa.

Melihat adiknya tergesa-gesa dengan jaket yang dipegangnya, Alan begitu penasaran.

"Arda mau ke mana lo?"

"Keluar."

"Gue tau lo keluar, maksud gue lo mau ke mana?"

"Alan udah, Arda mungkin mau ketemu sama temen-temennya."

ALISTATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang