32' Menyatakan Perasaan

999 41 4
                                    

Di tempat kerjanya, Alista berpikir keras soal Alan. Ia bahkan begitu penasaran siapa orang yang Alan suka sampai membatalkan pernikahannya dengan Luna.

"Siapa orang yang disukai sama orang aneh macam dia?" batinnya.

Pulang kerja Alista berjalan di pinggir jalan besar. Saat itu Alan tengah lewat dengan mobilnya melihat gadis yang familiar di penglihatannya sedang berjalan santai di tepi jalan.

Alan lantas turun, membuat Alista terkejut karena Alan memaksanya masuk ke dalam mobil. Di dalam mobil, Alan seperti orang yang kerasukan, wajahnya sedikit penuh amarah juga napasnya yang tidak teratur membuat Alista bingung dan takut.

"Alan kamu apa-apaan sih?" tanya Alista ketus.

Alan terdiam dengan terus menggenggam tangan Alista.

Sampai di tepi danau, Alan menyeret Alista untuk menghadap padanya. Ia memegang pundak Alista, dan mulai menunduk mengatur napasnya. Alista yang mulai pucat karena takut, sudah bisa mongontrol napas dan detak jantungnya. Alan menatap Alista tajam, sampai membungkam mulut Alista.

"Alista .... ayo kita pacaran. Ayo kita ngedate, saya suka sama kamu, saya cinta sama kamu." Ucapan Alan sangat lancar walaupun dengan napas yang masih tidak beraturan.

Alista melotot kaget karena ucapannya. Ia bengong menatap Alan, jantungnya yang tengah tenang mulai kembali berdetak cepat. Alista melepaskan tangan Alan dari pundaknya sementara Alan masih menatap tajam dirinya.

"Ke ... kenapa kamu kayak gini?"

"Alista, saya gak bisa nahan semua ini, ini terlalu sakit buat ditahan. Jadi saya mohon kasih jawaban sekarang. Saya gak bisa nunggu lama." Alan memejamkan matanya.

Alista langsung berlari pergi tanpa memberikan Alan jawaban. Alan mulai menundukkan kepalanya. Ia pikir, ia harus bisa menunggu lebih lama. Dan, tindakannya seperti itu sebenarnya gegabah.

Alista melangkah pulang dengan menangis. sampai di rumah, ia lantas pergi ke kamarnya, menenggelamkan wajahnya pada bantal. Entah dia bahagia atau karena terlalu terkejut, dia terus menangis.

"Kenapa Alan bodoh, kenapa sih dia ngomong kayak gitu? Dia kan harusnya menikah sama Luna. Harusnya dia jangan bilang kata itu sama gue," batinnya.

Alan pulang ke rumah dengan hati yang masih bimbang karena menunggu jawaban Alista untuknya. Ia pun sempat mengira bahwa dirinya sudah gila karena mengejutkan Alista dengan pernyataan dan pertanyaannya. Ia sempat menyesal karena tak bisa bersikap lembut sekalipun ia tengah jatuh cinta.

"Yang penting gue udah ungkapin semua perasaan gue ke Alista, gue kuat apapun nanti jawabannya," gumam Alan.

Arda kembali ke kamar Alan. Ia penasaran karena Alan pulang telat. Alan menjelaskan semuanya pada Arda, mulutnya terbuka refleks, antara terkejut juga merasa senang.

"Hahhhhhhhhh? Terus bang, apa jawabannya?"

"Dia belum kasih jawaban, lagi pula gue udah lega setelah ngomong itu. Gue terima apapun jawaban dia nanti, dia milih siapapun gue gak peduli."

"Nah ini baru abang gue." Arda senyum seraya merangkul kakaknya.

Alista di rumah masih bimbang, ingin menelpon Alan tapi dia ragu. Ia membuang ponselnya ke kasur. Alista tahu, bahwa ia tak ingin membohongi perasaannya lagi. Namun, posisinya sebagai orang biasa yang jauh level dari keluarga Alan, lagi-lagi ia berpikir bahwa dirinya tak pantas untuk dicintai Alan. Ia merasa sudah menjadi orang yang buruk dan menjadi alasan batalnya pernikahan Alan.

"Kaaaa ... kakak ..."

"Iya ada apa Rey?"

"Kakak liat kaos kaki Reka gak? Yang biru?"

ALISTAWhere stories live. Discover now