9' Lemah

1.7K 92 0
                                    

Film di putar. Suara begitu menggema di dalam sebuah ruangan luas.

"Lo gak ngajar emang Lis?" tanya Melan yang tengah memegang popcorn.

"Nggak, jam gue udah habis."

Setelah beberapa jam melakukan penyenangan diri bersama Melani, Alista melangkah untuk pulang. Bahkan belum sampai rumah, ia masih berjalan menuju gang rumahnya, tiba-tiba pusing menyerang kepalanya. Tahan. Satu kata dalam batinnya ia ucap. Sampai pada ia di depan pintu rumah. Badannya tak kuat lagi untuk menahan rasa pusing yang membuat penglihatannya menjadi kabur. Dengan sepersekian detik, dirinya jatuh pingsan. Suara sepatu tergesek aspal begitu terdengar. Reka telah pulang dari perkuliahannya.

"Kakak, Reka pulang." Wajah Reka tertunduk sesaat sebelum ia menemukan kakaknya tergeletak di dasar teras rumahnya.

"Kakak, kakak bangun kak, kenapa kak?" Ia begitu panik seraya mengguncang tubuh sang kakak.

Reka menggendong kakaknya ke dalam rumah. Dengan sergap, ia lantas mengambil kotak obat dan air hangat untuk pertolongan pertama. Beberapa menit Reka berusaha menempelkan minyak hangat pada hidungnya, Alista akhirnya tersadar. Tangan Reka yang hangat masih menggenggam erat tangannya.

"Kakak, sadar? Syukurlah."

"Aduh, ada apa ini Rey?"

"Kakak tadi pingsan di depan, kakak gak apa-apa?"

"Gak apa-apa kok Rey. Cuma kepala kakak pusing banget." Alista terus memegangi kepalanya.

"Nih, kakak minum obat dulu baru istirahat. Kak, kita ke Dokter aja yuk, Reka takut kakak kenapa-kenapa."

"Kakak gak apa-apa kok Rey, cuma kelelahan aja mungkin."

"Kakak sekarang istirahat ya, jangan kerjain apapun."

"Maafin kakak Rey, kakak nyusahin kamu."

Sebagai seorang kakak yang hanya tinggal bersama sang adik, tentu saja Alista dipaksa kuat oleh keadaan apapun. Tapi, jika ia sakit, ia tak akan bisa menjaga sang adik dengan baik. Karena itu, kata 'kuat' harus ia sematkan pada dirinya sendiri setiap hari.

"Gak, adik kakak gak ada yang namanya saling nyusahin. Udah malam, biar Reka yang temenin kakak di sini."

Dengan rasa peduli Reka yang besar, semalaman dia menemani Alista yang tertidur lelap karena sakit. Jujur saja, memiliki Reka adalah anugerah terindah bagi Alista. Ia sering mendengar kalau saudara pasti tidak selalu akur, berbeda paham, dan saling menuduh. Tapi, Reka tidak seperti itu. Ia bahkan lebih baik dari apapun yang Alista punya saat ini.

¤¤¤

Cahaya mentari pagi mampu menyegarkan kegiatan setelah bangun dari tidur yang lelap. Semangkuk bubur sudah tertera di atas meja makan, setelah Reka bangun sangat pagi hanya untuk memasak buburnya.

"Kak, makan dulu. Reka udah bikinin bubur buat kakak."

"Kamu bikin sendiri? Kok bisa?" Alista terheran. Sang adik tak pernah sekali pun melakukan kegiatan memasak. Tapi kali ini, ia berusaha untuk membuat bubur demi sang kakak.

"Reka kan sering liat kakak suka bikinin buat Reka, waktu Reka sakit."

"Makasih banyak Rey." Alista mulai terlihat lebih segar dari sebelumnya. Dirinya sudah mulai tersenyum sumringah depan Reka.

Gadis tangguh berambut panjang itu sudah siap untuk pergi mengajar privat lagi. Padahal, tubuhnya pun baru saja terlihat pulih.

"Mau ke mana kak?"

"Mau ngajar les. Kakak udah siapin sarapan buat kamu, gak mungkin kan kamu makan bubur."

"Tapi kan kakak lagi sakit."

ALISTATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang