7

5 1 0
                                    

Perkenalanku dengan Raka tahun lalu terjadi di sebuah pameran pendidikan yang hampir saja batal aku datangi. Hari itu mobil yang kusetir sendiri sudah memasuki kawasan Sudirman waktu Sarah memberi kabar bahwa ada pasien mendadak yang harus segera ditangani dan dengan sangat terpaksa dia harus membatalkan janjinya menemaniku pergi ke pameran pendidikan di Hotel Sahid Jaya. Sebenarnya aku tipikal orang yang paling anti berada dalam keramaian seorang diri. Kalau bukan karena pameran tersebut hanya diadakan setahun sekali, bisa dipastikan aku sudah putar balik pulang ke rumah. Sayangnya aku tidak punya pilihan selain melanjutkan perjalanan. Jadilah seorang diri aku mengitari ballroom hotel yang penuh dengan ratusan stand institusi pendidikan dari Eropa, Inggris, Australia, bahkan Amerika dan Kanada.

Aku selalu bermimpi untuk bisa melanjutkan sekolah ke luar negeri. Gak peduli di negara manapun, pokoknya ke luar negeri. Sejak lulus dari perguruan tinggi dan bekerja selama tiga tahun pada kantor konsultan interior design yang sering mengirimku business trip ke berbagai benua, hasrat sekolah ke luar negeriku mulai memiliki arah yang jelas. Aku jatuh cinta dan ingin sekali mendalami dunia visual merchandising, sampai nekat memutuskan resign dari kantor dua minggu lalu demi mempersiapkan keperluan sekolah ke Eropa. Kenapa Eropa? Karena negara-negara di sana kental akan segala hal berbau art, history, and authentic or luxury design. Selain itu alasan Eropa memiliki banyak sekali negara yang bisa dikunjungi hanya dengan satu visa juga menjadi pertimbangan untukku. Sambil menyelam, minum air. Pepatah itu rasanya tepat menggambarkan nikmatnya khayalan akan menimba ilmu di Eropa. Siapa yang tidak akan senang kalau bisa sekolah berbonus jalan-jalan? Berbekal keyakinan dan minat itulah aku mengantri dengan sabarnya bersama puluhan orang di depan stand agen representatif sebuah sekolah dari Perancis kala itu. Ada sesi konsultasi gratis secara langsung dengan pihak universitas.

Entah karena tidak memperhatikan atau ruangan pameran yang terlalu ramai, aku tidak menyadari bahwa ada sesosok pria yang dari tadi juga ikut mengantri persis di depanku sampai seorang anak kecil dari arah berlawanan menabrak kami berdua. Semua brosur yang aku kumpulkan dari berbagai stand jatuh berserakan ke lantai bersama dengan tas ransel berwarna hitam merek Nike yang dipikul sebelah pundak oleh pria yang berdiri di depanku itu.

"Astaga. Kemana sih orang tuanya?!" Dengan wajah yang tampak sangat kesal pria itu bergerutu ketika menunduk untuk mengambil kembali tas beserta isinya yang berceceran karena retsleting tidak tertutup rapat.

Aku hanya diam memungut brosur kepunyaanku, sementara anak kecil itu berlari lagi entah ke arah mana. Tidak ada perbincangan di antara aku dan pria itu. Sepertinya dia sungguhan kesal pada anak kecil tadi. Namun ketika sudah sama-sama berdiri dan kembali pada jalur antrian, pria itu menoleh ke belakang.

"In my 26 years of existence, I've never liked some creatures named kids, children, or even a baby. I never get along with them." Kata pria itu dengan nada yang dingin, tanpa ekspresi apapun di wajahnya.

Buset. Galak banget. Begini caranya menyapa orang asing? Dengan memberitahukan bahwa dia tidak suka anak kecil? Bicaranya pun tanpa menyunggingkan sebuah senyum. Tidak heran kalau satu-satunya kata yang terlintas di kepalaku untuk menggambarkan pria itu sebagai kesan pertama adalah jutek. Karena salah tingkah, aku hanya tersenyum menanggapinya. Pria itu lalu mengembalikan tatapannya ke depan. Tapi tidak lama. Satu menit kemudian, kepalanya menoleh ke belakang. Lagi.

"Mau daftar sekolah?" Kali ini dia bertanya walau wajahnya masih tanpa ekspresi. Sudah tidak ada garis kekesalan di wajahnya, tapi pria ini nampaknya memang enggan tersenyum. Atau tidak bisa tersenyum.

"Iya." Jawabku singkat.

"Rencananya mau ambil apa?" Pria itu bertanya lagi.

"Desain."

GroundiesWhere stories live. Discover now