9

20 0 0
                                    

Santa Maria delle Grazie terletak tak begitu jauh dari halte tempat supir bus menurunkan hampir seluruh penumpang termasuk aku. Ternyata tak sulit mencari museum itu, dua bangunan berdinding batu bata dengan kubah besar diatasnya langsung tertangkap oleh mataku. Berdasarkan arahan dari supir bus, hampir 100% aku langsung yakin kalau kedua bangunan tersebut adalah benar tempat yang Raka maksud. Segera aku menarik napas dalam-dalam dan membuangnya perlahan sambil berjalan mengarah kesitu. Kurapatkan mantel yang melekat pada tubuhku lalu berulang kali aku gosokkan kedua telapak tangan untuk menciptakan sedikit rasa hangat. Tanganku dingin, kakiku juga. Aku meyakini penyebabnya bukan karena angin Milan berhembus kencang yang menandakan kalau musim gugur hampir tiba. Aku tahu betul sumber kebekuan ini datang dari rasa takut di dalam diriku. Aku sangat takut bertemu Raka.

"Bukannya dia yang harusnya takut ketemu sama lo karena punya dosa ninggalin lo gitu saja ya Ran? Lo tuh harusnya ngerasa marah sekarang, bukan malah takut." Tadi Sarah bilang begitu ketika aku membombardir whatsappnya dengan puluhan kata takut selama perjalanan bis dari Verdi's menuju halte Santa Maria delle Grazie. Di saat-saat genting, memang hanya Sarah satu-satunya orang yang akan kucari.

Harusnya memang begitu. Sepantasnya aku sedang merasa marah dibandingkan merasa takut saat ini. Namun apa daya. Amarahku menguap entah kemana. Terkalahkan oleh rasa takut, rasa lemas, rasa rindu, dan campuran rasa yang tidak mampu aku deteksi lagi apa namanya.

Di tengah langkah kecil untuk mencapai tujuan, aku melirik lagi jam tangan yang melingkari pergelangan tangan. Dari tadi mataku tidak bisa lepas dari benda itu. Waktu sudah menunjukkan pukul 12 lewat 6 menit yang berarti aku sudah terlambat selama 6 menit. Bagi sebagian orang berprinsip jam karet, 6 menit pasti tidak ada artinya. Akupun dulu berpikir begitu sebelum mengenal Raka yang benci setengah mati dengan keterlambatan. Seumur hidupku, mungkin dia adalah orang paling tepat waktu yang pernah aku kenal. Dari dia aku belajar menghargai waktu, dimana tidak banyak orang yang mampu melakukannya. Bahkan saking on time nya, setiap memiliki janji temu dengan siapapun itu, seorang Raka bisa dipastikan akan datang sekitar lima atau sepuluh menit sebelumnya. Itu kebiasaan baik Ayahnya yang menurun pada Raka dan menular padaku. Karena merasa dirinya selalu berusaha menghargai waktu orang lain itulah, dia akan sangat kesal kalau orang lain tidak bisa menghargai waktunya dengan melakukan hal yang sama. Mendadak aku teringat salah satu pembicaraan dengannya yang cukup membekas untukku.

"Kamu tuh kelamaan tinggal di luar negeri sih, jadi gak paham kebiasaan orang Jakarta. Tahu sendiri disini macet, wajarlah orang datang terlambat." Jawabku dulu waktu dia tidak berhenti ngomel-ngomel karena janjian dengan temannya yang ngaret.

"Mana ada alasan kayak gitu? Kalau tahu Jakarta macet mustinya temanku berangkat lebih awal dong. Dari lahir tinggal di Jakarta masa tidak bisa membaca situasi jalanan? Memang dasar orangnya tidak menghargai waktu orang lain saja."

"Ya kamu juga harus bisa membaca perilaku kebanyakan orang Jakarta. Ngerti sedikitlah, sayang. Kalau 30 menit dia gak datang, baru kamu tinggal."

"30 menit itu berarti, Rania. Dalam 30 menit, aku sudah bisa makan, bisa pemanasan sebelum main tenis, bisa main piano sekitar 5 lagu, bisa melakukan segala macam hal berguna selain nungguin orang."

"Kalau 15 menit bagaimana?"

Raka menekuk wajahnya karena kesal tapi aku tahu kalau saranku diterima karena sejak saat itu dia selalu memberikan kompromi keterlambatan pada siapapun yang akan ditemui atau menemuinya selama 15 menit. Sekarang ini kalau aku sampai ditinggal olehnya karena melewati batas toleransi waktu tersebut, apa namanya kalau bukan menjilat ludah sendiri? Walaupun kalau dipikir ulang, siapa juga yang janjian bertemu dengannya? Dia sendiri yang menentukan pertemuan ini secara sepihak. Kalau aku terlambat, berarti aku tidak salah. Atau kalau aku mau datang, berarti secara tidak langsung aku sudah mengiyakan ajakannya dan harus ikut dalam aturan mainnya? Ah, ini semua gara-gara aku termakan kata-kata Adri.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Sep 05, 2018 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

GroundiesWhere stories live. Discover now