8

6 0 0
                                    

Verdi's. Kalau disuruh memilih tempat untuk sarapan di luar, aku akan selalu memilih Verdi's. Apalagi kalau otak sedang tidak bisa diajak berpikir kreatif seperti sekarang ini. Tugas semudah mencari café kekinian sebagai request dari Amanda, dimana sebenarnya bertaburan tempat sarapan lucu di Milan pun rasanya tidak sanggup untuk dikerjakan. Aku terjaga tadi malam. Usaha apapun yang aku lakukan untuk mengistirahatkan tubuh dan pikiran yang sebenarnya sangat letih tidak membuahkan hasil sedikitpun. Mematikan lampu kamar, menghitung milyaran domba, menjauhkan semua alat elektronik dari jangkauan, menenggak hampir dua gelas susu baileys, dan memutar belasan kali lagu O dari Coldplay. Semuanya sia-sia. Aku tidak tidur sepanjang malam.

Rasanya aku masih tidak bisa percaya dengan apa yang terjadi kemarin. Pertemuan tak terduga antara aku dan Raka di Eurolympic bagai sebuah film yang begitu jelas terputar secara terus menerus di dalam kepala. Di mulai ketika kami semua menyanyikan lagu-lagu kebangsaan di dalam lapangan sebelum pak dubes maju memberikan sambutan, dilanjutkan dengan Adri menyebut nama Raka sebagai pemenang pertandingan tenis, lalu muncul sosoknya dengan aura bahagia, sampai tatapan matanya ketika melihatku untuk pertama kalinya setelah setahun lebih kami tidak pernah bertemu. My mind keeps replaying it, scene by scene. Like a tragic slideshow.

"Woi, gak ada bosannya ya lo sampai harus banget dua hari berturut-turut kita sarapan di Verdi's!" Lengkingan suara Amanda menyetop film nestapa yang kembali terulang ketika aku duduk termenung menunggu kedatangannya dan Adri.

Aku membenarkan posisi duduk seraya tertawa. "Memang kenapa sih, Nda? Tempatnya kan nyaman, kekinian juga."

"Kan masih banyak tempat lain yang belum kita coba. Masa Verdi's lagi sih, gak asik lo!" Oceh Amanda lagi sebelum duduk di sebelahku.

Adri hanya terkekeh lalu ikut mengambil tempat di depan kami. "Heh Nda, jangan teriak-teriak. Diusir nanti kita! Masih mabok ya lo?!"

"Bodo amat! Pesan sarapan apa nih kita pagi ini? Sama lagi menunya kayak kemarin? Bosan!"

"Tinggal makan doang berisik ya lo dari tadi, Nda!" Cetusku jutek.

"Tau nih! Gue yang harus bayar saja diem daritadi." Adri ikut ngedumel.

Amanda tertawa mendengar aku dan Adri ngomel lalu beranjak ke kasir untuk memesan.

"Nda, titip pesenan gue kayak biasa dong. Nanti gue yang bayar belakangan semuanya."Adri berseru.

"Nda, gue juga! Kayak biasa! Thank you, darling!" Aku terlalu malas mengangkat pantat yang sudah keburu nyaman menempel ke sofa.

Amanda melengos sambil berlalu.

"Laporan lo sudah beres?" Tanya Adri begitu Amanda berlalu dari meja kami.

"Hmmm....Tinggal dikit lagi."

"Sayang banget deh lo gak ikut tadi malam!"

"Eh, iya. Gimana acara tadi malam? Seru?" Walaupun awalnya agak ragu untuk bertanya, kalimat bernada ingin tahu itu meluncur juga dari bibirku.

"Ya gitulah. Haha hihi saja sepanjang malam."

"Makanan gimana makanan? Enak?"

"Enak kok, enak. Tapi kalau lo bandingin sama Sederhana, Pagi Sore, Sari Ratu, atau Garuda sih kalah jauh." Adri tertawa. "Eh tapi sate padangnya gila sih. Mantap!"

"Ada sate padang juga disana??!"

"Yoi. Lumayan banget untuk mengobati kerinduan gue sama Sate Padang Ajo Ramon di Jakarta. Bumbunya nyusss!" Adri melet-melet.

"Rese lo Dri!" Aku jadi ngiler ngebayangin sate lidah, lontong, dan kerupuk kulit yang nikmatnya tiada tara kalau dicocol ke bumbu pedasnya.

"Lagian lo sih pake gak ikut segala. Sok kerajinan bikin tugas." Tak sampai dua menit Amanda sudah kembali lagi ke meja. Rupanya sejak tadi dia mencuri dengar percakapanku dan Adri dari kasir. "Seru tau semalam, habis makan malam dan pak dubes pulang kita lanjut minum ke Navigli." Amanda menyebut nama daerah anak gaul di Milan. Daerah dimana puluhan tempat minum dan nongkrong berjejer. Kalau di Jakarta, ya daerah Kemangnya lah.

GroundiesWhere stories live. Discover now