Part 43✓

3.9K 172 4
                                    

Ruangan bernuansa putih itu ramai oleh suara isak tangis, di brankar terdapat seorang gadis yang sedang mempertahankan hidupnya. Segala alat-alat medis menempel di tubuhnya untuk membantunya tetap hidup.

Semua orang terkejut ketika mendengar suara mesin monitor yang terdengar nyaring, semuanya menatap alat monitor yang menampilkan garis lurus.

Seorang dengan setelan jas Dokter pun menggeleng sambil menatap orang-orang yang berada di ruangan ini.

"Gak mungkin..." Lirih seorang wanita paruh baya, sedari tadi ia terus saja menangisi keadaan putrinya yang sangat memperihatinkan.

"Maaf kan kami, kami sudah berusaha sebisa mungkin. Namun Tuhan lebih sayang sama putri ibu," kata Dokter tersebut.

"Kenapa harus dia ya Tuhan..." Lirih seorang temannya.

"Kara!" Teriak Sania yang langsung menghambur memeluk tubuh dingin sahabatnya itu.

Hidup bersama selama bertahun-tahun, seseorang yang selalu ada untuk sahabatnya, seseorang yang selalu ada di saat suka maupun duka. Kini dia telah pergi untuk selama-lamanya.

Haruskah Sania memaksa Tuhan untuk mengembalikan sosok sahabat yang begitu ia sayangi itu. Kenapa harus Kara?

"Jangan pergi hiks..hiks.." Sania menggucang tubuh Kara, tak ada respons apapun dari Kara. Dia...sudah pergi.

Sania tak mendengarkan apapun yang dikatakan oleh Suster, dua Suster yang berada di ruangan ini terus menarik tubuh Sania agar Sania menjauh dari tubuh Kara. Kedua Suster tersebut ingin segera melepas semua alat medis yang menempel di tubuh Kara. Jam sudah menunjukan pukul 00:00, jenazah harus segera diurus.

"Kami terlambat untuk menolong Kara, luka yang dia terima cukup parah. Dia kehabisan darah," kata Dokter tersebut.

"Saya mohon Dok, bangunkan putri saya. Berapa pun biayanya akan saya keluarkan demi putri saya Dok!" Lukman, ayahnya Kara bersujud di depan Dokter tersebut. Dua Suster yang tadi sempat menenangkan Sania pun ikut meneteskan air matanya.

Dokter yang bernama Herman tersebut pun sama halnya, ini baru pertama kalinya selama ia bertahun-tahun menjadi seorang Dokter. Ia gagal menyelamatkan nyawa seseorang, sedih? Tentu, ia telah gagal menyelamatkan sosok gadis cantik yang malang.

"Maafkan kami Pak, kami sudah berusaha sebaik mungkin untuk putri Bapak. Namun takdir berkata lain--"

Brak

Pintu ruangan terbuka sehingga membuat semua orang terkejut mendengarnya. Dapat dilihat di ambang pintu sudah ada Radit dengan keringat yang membasahi tubuhnya, mata yang memerah serta raut wajah yang menampilkan kesedihan yang begitu mendalam. Di belakang Radit ada Arya dan Rezvan yang memegang kedua bahu Radit karena mereka tahu, Radit pasti akan memberontak di rumah sakit ketika mengetahui fakta yang sangat menyakitkan untuk laki-laki itu.

Radit berjalan dengan langkah lemas ke arah brankar. Ia harap ini hanya mimpi, siapa pun itu bangunkan Radit dari mimpi buruk ini. Sungguh Radit merasa tidak ada oksigen sama sekali di ruangan ini. Ia benar-benar kesulitan untuk bernapas rasanya sangat sesak.

"Ra..Radit." Lirih Shila.

"Ini semua gak bener kan Shil? Bilang sama gue kalo ini cuma mimpi Shil!"

"Kara udah gak ada..."

Radit melepas secara paksa tangan kedua temannya yang menahannya. Ia berlari ke arah brankar tempat di mana gadis yang belum lama ini berstatus menjadi kekasihnya berada, gadis yang sudah lama Radit kagumi secara diam-diam. Dan kini gadis itu pergi meninggalkannya.

"Kara!" Teriak Radit.

"Tahan dulu Dit, biarin para Suster lepas alat medis nya dulu," kata Rezvan sambil terus menahan tangan Radit.

Best Day Ever (SUDAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang