10. Goresan Luka

11.5K 806 117
                                    

Indra’s pov
13:00 WIB
-eNZi Boutique-

Aku berada di belakang Maya yang sibuk melihat bermacam-macam pakaian khusus ibu hamil. Seperti kesepakatan, aku menemani Maya berbelanja di butik setelah menjemputnya di rumah tadi. Butik ini merupakan langganan Maya setelah tinggal di Kediri.

“Mas lihatlah, bukankah ini sangat bagus? Aku masih tetap terlihat cantik memakai ini, kan?” tanya Maya memerlihatkan baju hamil yang memang sangat modis.

“Tentu saja, apapun yang kau pakai kau tetap terlihat cantik.” Aku mengelus rambut panjangnya. Maya tertawa dan memelukku sangat erat, aku senang jika dia senang seperti ini. Kebahagiaannya adalah kebahagiaanku.

“Jika aku tidak hamil, pasti aku pergi ke salon dan mengganti warna rambutku. Tapi, aku tidak bisa melakukannya karena itu akan berakibat buruk pada bayi kita.”

“Ayo kita beli pakaian seperti ini, agar sama seperti yang lainnya.” Ia menarikku menuju manekin yang memakai baju sama. “Bukankah itu sangat lucu, saat adek lahir nanti kita beli pakaian seperti itu ya, Mas.” Maya mengelus perutnya, senyuman lebar tak pernah lepas dari wajah cantiknya sejak tadi.

“Tentu saja.”

Jujur ju katakan, sejak Maya hamil ia terlihat lebih senang dan wajahnya berseri-seri. Aku bersyukur kebahagiaannya telah kembali setelah mengandung. Keajabaikan yang diberikan Allah SWT kali ini membuatnya lebih berhati-hati.

Ia sangat memperhatikan makanan dan sikapnya. Karena hal buruk pernah terjadi di masa lalu, maka kali ini kami berdua harus menjaga adik dengan sangat baik. Kami tidak ingin sesuatu terjadi padanya.

“Mas, di sebelah sana juga sepertinya sangat lucu.” Maya menunjuk pakaian dengan model lain. Maya mengerdipkan sebelah matanya dan berjalan menuju rak lain, sekarang model untuk pakaian ibu hamil semakin beragam ya. Aku menghela nafas panjang dan berjalan mengikutinya, lebih baik menurutinya saja.

Mataku memandang 2 manekin bocah laki-laki yang memakai kaos bergambar kartun Larva. Aku berhenti sesaat dan menyadari sesuatu, sekali lagi aku melupakan kewajibanku. “Alvin! Alvan!”

#

Author’s Pov

“Karcis! Karcis!” Pandangan Alvin teralih menuju seseorang yang memegang karcis lengkap dengan spidol yang diselipkan di telinganya. Alvin menatap seseorang itu berdiri di belakangnya, sedang berbicara dengan penumpang lain.

“Alvan, begitulah cara membayar bus. Seperti yang pernah Mama ceritakan. Eh, tapi apa ya nama Om itu?”

Kedua mata Alvan berbinar, “Kondektur!”

“Ya benar, Van. Kondektur! Kita pakai uang yang diberikan Papa tadi ya untuk membayar bus.” Alvan mengangguk, ia mengeluarkan uang di saku celananya.

Kedua putra Ralia itu sangat menikmati pengalaman baru mereka menaiki bus.
Kondektur bus mencolek bahu si perempuan dengan headphone setelah melihat Alvin dan Alvan. Kedua bocah kembar itu memperhatikan perempuan headphone yang memerikan uang berwarna cokelat, Alvin menunduk uang di tangannya. Ia sedih tidak punya uang seperti itu, bagaimana jika kondektur tidak mau menerima uangnya?

“Hutan Joyoboyo.” Kondektur mengangguk dan mencoret karcis.

“Oh ya, kedua anak ini bersamamu?” perempuan itu menatap Alvin dan Alvan yang menatapnya bingung. Kedua mata perempuan itu membulat sempurna, ia sibuk dengan headphone di telinganya hingga tak sadar ada sepasang anak kembar duduk di sampingnya.

“Tidak.” Ucapnya masih dengan wajah terkejutnya.

“Tidak, Om Kondektur. Kami hanya berdua.” Kondektur terkejut, ia berjongkok di depan si kembar.

Second Love : Separuh NyawaWhere stories live. Discover now