44. Kebenaran

15.1K 863 210
                                    

Alvan's pov
14:00 WIB

Aku tersenyum lebar melangkah keluar kelas dengan ketiga teman baruku, kami berempat berjalan bersama menuju parkiran. Apapun yang terjadi, aku sangat bahagia atas apa yang terjadi hari ini. Rencana Mama dan Daddy memang luar biasa! Pulang nanti aku mengucapkan banyak terima kasih pada mereka berdua.

Mama dan Daddy adalah orang tua yang terbaik!

"Sayang sekali ya Alvin tidak bergabung dengan kita." Aku menoleh ke arah Marissa yang terlihat sedih. Apa dia menyukai Alvin? Ah ya, Ice Man yang dingin itu memang disukai banyak perempuan walau dia tidak melakukan apapun.

"Ah ya, kenapa tadi dia langsung pulang?" Akbar menatapku dengan wajah penasarannya.

Aku menggeleng, "Dia belum meneleponku sejak tadi, mungkin nanti dia memberitahuku semuanya." Ketiga sahabatku mengangguk.

"Besok dia masuk kuliah kan? Aku ingin mengobrol dan lebih akrab dengannya." Aku menggigit bibir bawahku mendengar pertanyaan Tommy. Masalahnya aku tidak yakin dia masih ada disini. Kemungkinan dia kembali ke Canberra atau ke Sydney sejak tadi.

"Hmm, semoga saja." Aku menepuk bahu Tommy dan berusaha menyakinkannya. Tatapanku teralih saat melihat seseorang berjalan ke arah mobilnya dengan banyak sekali barang.

Aku menatap ketiga temanku, "Kalian duluan saja, aku ingin bertemu dengan seseorang dulu." Ketiganya menatapku bingung, namun beberapa detik kemudian mereka mengangguk.

"Sampai jumpa besok, Alvan." Aku melambaikan tangan ke arah tiga teman baruku dan melangkah menuju seseorang. Senyum paling lebar ku sematkan di wajah tampanku dan mengambil tas laptopnya hingga membuatnya terkejut.

"Sepertinya Anda membutuhkan bantuan, Pak Indra?" Papa mengerjap-ngerjap dan menatapku seolah tak percaya apa yang dilihatnya ini.

"Alvan-"

"Papa." Aku memeluk Papa yang juga langsung memelukku, pertemuan pribadi yang tidak elit sebenarnya. Seharusnya kami bertemu lagi di tempat yang keren seperti foodcourt atau masjid kampus, dan bukannya di tempat parkir.

Mataku terpejam dan air mata yang sejak tadi mati-matian ku tahan akhirnya jatuh juga.
"Alvan sangat merindukan Papa, selama sepuluh tahun Papa kemana? Kenapa tidak menghubungi Alvan lagi? Setiap hari Alvan selalu menunggu telepon dari Papa."

"Papa juga sangat merindukanmu, Alvan. Papa juga merindukan Kak Alvin. Kalian baik-baik saja, kan? Kapan kalian kembali kemari, Nak?" Aku menatap wajah tuanya, Papa tidak tahu aku dan yang lain ada di Kediri?

Hey, kami sudah disini hampir dua minggu lamanya. Apakah selama itu Papa tidak mengetahui keberadaan kami?

"Alvan dan yang lain sudah ada di Kediri sejak dua minggu lalu, Pa." Kedua matanya membulat, "Sehari setelah kami kembali kemari, kami menggelar pesta rumah baru dan semua orang diundang. Termasuk Papa, Kakek, Nenek, juga Kakek Buyut. Tapi tak satu pun dari kalian datang."

Papa mengerutkan keningnya, "Kami tidak menerima undangan dari kalian, Nak." Aku mengerjap-ngerjap, apa yang terjadi sebenarnya? Aku masih ingat dengan benar menulis nama Papa di undangan itu. "Bagaimana jika kita mengobrol dulu? Ada banyak hal yang ingin Papa bicarakan denganmu." Papa menatapku penuh harap, aku tersenyum dan mengangguk.

"Apa kau lapar? Ayo makan di foodcourt, mereka menjual macaroon."

"Ayo!" Papa terkekeh, tangannya terulur mengelus rambutku. Kami melangkah menuju foodcourt yang letaknya tak jauh dari gedung fakultasku.

Lima belas menit kemudian kami sampai di foodcout, aku melahap satu macaroon sekaligus. Papa menatapku dengan senyuman lebar, "Kau ini masih sama ya." Aku hanya meringis dan sibuk mengunyah makanan manis favoritku sejak kecil.

Second Love : Separuh NyawaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang