13. Perubahan Indra

11.8K 733 119
                                    

Indra’s pov

“Maya!” teriakku saat melihat Maya terpeleset. Dengan cepat aku memeluknya erat dan akhirnya terjatuh dengan Maya di atasku.

“Mas Indra. Aku takut.” Maya memelukku erat.

“Kau tidak apa-apa? Katakan mana yang sakit.” Aku menatap Maya, rasa khawatirku bertambah saat melihat wajah takutnya.

“Tidak, aku baik-baik saja, Mas. Aku hanya takut.” Aku menghela napas lega.

“Mbak, Mbak baik-baik saja?” tanya Ralia yang datang dengan wajah khawatirnya. Maya melihat Ralia sekilas, lalu mengangguk dan kembali memelukku. Aku memandang Ralia yang memandangku, dengan cepat Ralia mengalihkan pandangannya dariku.

“Ayo Mbak, duduk di sofa saja.” Ralia membantu Maya berdiri dan menuntunnya menuju sofa.

Aku berdiri dan melihat sekitar, lantai basah. Ini pasti karena si kembar yang tadi bermain pistol air di rumah. Bagaimana bisa mereka berdua bermain pistol air di dalam rumah?

Tidakkah mereka berfikir air yang tercecer di lantai membuat  orang lain terpeleset? Bahkan tadi aku sudah memperingatkan mereka berdua, tapi mereka berdua tidak mau mendengarku. Bagaimana jika sesuatu terjadi pada janin yang dikandung Maya?

“Alvin! Alvan!” teriakku pada kedua bocah yang berdiri mematung tak jauh dari TV. Mereka berdua memandangku ketakutan, ini pertama kalinya aku membentak mereka. Mereka harus diberi pelajaran atas kesalahan yang mereka perbuat.

“Kemari!” Mereka berdua tersentak. Aku memandang tajam dan berjalan ke arah mereka berdua. Alvan mulai menangis, sedangkan Alvin hanya diam menatapku.

“Bermain pistol air di dalam rumah benar atau salah?” Mereka berdua hanya diam, buliran bening menuruni pipi Alvan. “Alvan, menangis tidak akan menyelesaikan masalah. Jadi berhentilah menangis.” kataku tegas.
“Sekali lagi Papa tanya, bermain pistol air di dalam rumah itu benar atau salah?”

“Salah.” jawab Alvin lirih, sedangkan Alvan hanya menunduk.

“Jika kalian tahu salah kenapa kalian lakukan?” kataku meninggikan suaraku karena merasa kesal. “Kalian tahu, jika saja Bunda sampai terpeleset Papa dan Bunda akan kehilangan adik kalian, dan itu artinya kalian membunuh adik kalian!”

“Mas.” suara Ralia. “Kenapa Mas mengatakan hal seperti itu pada anak berusia lima tahun?” tanyanya mendekat padaku. Aku hanya mengalihkan pandanganku dan menghela nafas panjang. “Jangan membuat mereka takut, Mas. Mereka masih anak-anak.”

“Jika mereka tidak dibuat takut, mereka tidak akan tahu jika yang mereka lakukan itu salah. Mereka harus dihukum!” kataku membuat Ralia terkejut.

“Jangan Mas. Kesalahan yang mereka lakukan hanya kesalahan kecil.” ucap Ralia membuatku geram.

“Kesalahan kecil? Kesalahan kecil itu bisa membuatku dan Maya kehilangan bayi yang kami tunggu selama 10 tahun!” teriakku pada Ralia, aku tidak peduli dengan air mata yang menggenang di pelupuk matanya, bahkan aku tidak peduli dengan si kembar yang mulai menangis.

“Kau tidak bisa menjawabku, bukan? Artinya kau harus terima jika aku menghukum mereka berdua.” Aku berbalik pada Alvan yang menangis semakin keras dan Alvin, dia menangis tapi tidak mengeluarkan suara.

“Sini! Kalian harus dipukul agar tidak mengulangi kesalahan yang sama!” Aku menarik tangan Alvin kasar, dia tetap diam. “Papa akan memukulmu karena sudah melakukan kesalahan besar. Sekarang berbaliklah!” teriakku pada Alvin. Tanpa sepatah katapun Alvin menurut. Ia berbalik menghadap Alvan yang menangis menatap Alvin.

“Papa.” suara Alvin terdengar parau. Alvin berbalik, “Jika bermain pistol air di rumah kesalahan besar dan harus dihukum, bagaimana dengan Papa yang lupa menjemput kami?”

Second Love : Separuh NyawaTahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon