Face the Truth

1.7K 295 70
                                    

Anak Dream bisa membaca suasana kok. Kelima bocah itu paham kalau antara ketua dan hyung tertua di 00 line sedang tidak akur. Namun mereka tidak menemukan alasannya kecuali satu orang di ujung ruangan yang memasang mata membuntuti gerak Renjun. Ia juga tahu alasan tiga hari belakangan kemarin Renjun selalu menggunakan masker menutupi mulutnya. Alasan yang sesungguhnya, lelaki berzodiak Leo itu tahu. Ia tersenyum miring.

"Sebenarnya ada apa antara kau dan Mark hyung, Renjun?" Haechan sudah duduk di hadapan lelaki China itu. Sepertinya dia harus mengorek informasi dari Renjun dulu baru bertanya pada Mark.

"Memang ada apa? Kami baik-baik saja." Renjun tersenyum wajar. Dia sudah menanggalkan maskernya. Luka di bibirnya sudah agak samar.

"Kalian menghindar..." Haechan mematah kalimatnya, "Kau seperti menghindarinya? Kalian bertengkar kan? Mulut Mark hyung terluka beberapa hari yang lalu, kau meninjunya?" Tebak Haechan asal. "Dan kau sendiri menutupi mulutmu. Bibirmu juga terluka karenaー"

"Aku terbentur!" Potong Renjun sebelum Haechan menyudahi kalimatnya.

"Ya, tapi luka itu..." Haechan menatap luka samar di bibir Renjun dengan intens. Tapi Renjun dengan segera menyembunyikannya, menutup rapat bibirnya dengan baik.

"Heuh, aneh!" Kata Haechan yang ditinggalkan Renjun begitu saja.

Memang benar kalau Renjun menghindari Mark sejak kejadian itu. Memang Mark tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi, seharusnya Renjun bersikap biasa saja. Tapi malah begini yang terjadi. Renjun punya hati yang terluka dan makin sakit apabila melihat tersangka yang melakukannya, makanya dia menghindar sebisanya.

___________________________________

"Apa yang mau kau katakan, Jaemin?" Mark tidak tahu ada perlu apa Jaemin sampai membawanya ke ruang latihan sebelah yang kosong. Meninggalkan anggota yang lain di ruang sebelah. Mereka sudah selesai latihan dan tinggal pulang saja sih sebenarnya.

Yang lebih muda menyeringai, "Ada yang ingin kutanyakan saja." Ucapannya menciptakan persimpangan di dahi ketua timnya ini.

Seperti hal serius saja sampai membawanya hanya berdua begini. "Apa itu? Katakan..."

"Injunie... bagaimana rasa bibirnya?"

Dan itu otomatis membuat tangan Mark terkepal. Keras. Fakta yang ingin ia ketahui sudah diketahui lebih dulu dari orang yang tidak ia bayangkan. Jaemin ada di sana malam itu, artinya.

Rahang Mark menegang. Dia benci dirinya. Dia benci minuman keras dan dia benci ada fakta orang lain yang memergokinya.

Apa yang dikatakan Jaemin seolah menjadi kata kunci yang membuka gerbang ingatannya tentang malam itu. Satu persatu peristiwa saat ia mabuk terlintas di kepalanya sampai ia terdorong dan memejam di karpet ruang tengah dorm U dan Dream.

"Bagaimana rasanya... manis?"

Mark menggertakan giginya. Ia ingin marah saat ini. Tapi Jaemin bukan orang yang berhak ia tendang. Ia memejamkan matanya, mencoba meredam amarah yang makin memuncak. Ia benci dirinya, itu saja. Kalau bisa sih ingin meninju dirinya sendiri.

"Jaemin..." Bibirnya sedikit bergetar kala bersuara. Pemilik nama menaikkan alisnya, tangannya sudah terlipat di depan dada, lagi-lagi ia tersenyum miring. "Kau di sana malam itu?"

Kepala Jaemin mengangguk. "Aku melihatnya, sejak kau mendorong Renjun."

Tangan Mark berada di udara, mengisyarat pada Jaemin untuk tidak menjelaskan lebih jauh. Ia sudah ingat sendiri. "Aku mohon padamu untuk menyimpannya sebagai rahasia."

Bibir Jaemin melengkung ke bawah, mencibir tapi dia mengangguk juga. Dengan arogan. Lalu tubuh itu condong ke depan, bibirnya sudah sejajar dengan telinga Mark. "Jangan menyakitinya atau kuambil!"

Jantung Mark serasa ditempa batu ribuan ton. Lelah berdetak. Ingin menyudahi. Kepalanya jadi pusing. Ia tidak mengerti kenapa ada ganjalan lain di hatinya. Apa yang Jaemin maksud adalah mengibarkan bendera perang untuk bersaing mendapatkan Renjun?

Tidak bukan itu. "Aku masih cukup normal jadi aku yang mundur."

Jaemin menaik turunkan alisnya dengan senyum andalannya yang terkesan nakal. Ia bicara enteng sekali. Mark hanya menatapnya kemudian mengangguk.

Ya dia mana mungkin menyakiti Renjun.

_________________________________

"Renjun!"

Langkahnya terhenti, matanya memejam. Ia tahu suara siapa yang menyerukan namanya dan berlari ke arahnya. Mark kini berdiri di hadapannya. Nafasnya memburu, itu jelas karena ia berlari tadi. Menormalkan deru nafasnya lelaki itu berekspresi datar. Ia menggigit bibir atasnya. Bingung bagaimana bicara dengan Renjun yang memaksa tersenyum untuknya.

"Aku... bagaimana ya, aku minta maaf!" Ucapnya cepat. Ia menunduk tak berani menatap mata yang berubah sorotan itu, ada sorot kebencian di mata itu. Mark merutuki dirinya. Ia benci dirinya.

Renjun mengerjap kemudian mencoba terkekeh. "Minta maaf untuk apa? Kau membuat kesalahan apa padaku?" Tanyanya senatural mungkin, seakan dia tidak tahu apapun. Dan pada kenyataannya perban yang menutupi luka dihatinya terkelupas.

Mark mendongak. Dia akan lebih senang kalau Renjun meninju hidungnya kini. Tapi lelaki yang menyinggahi hatinya ini malah terkekeh. Ia menggeleng. "Maafkan aku!" Kali ini Mark mencoba bertahan menatap manik gelap Renjun yang juga menatapnya lurus.

Kini air muka Renjun berubah, yang tadi dipaksakan terkekeh menjadi datar dan kesal. Ia beranjak dari hadapan Mark, lelaki China ini lebih memilih menghindar daripada meluruskan segalanya. Ia tidak peduli, ia sudah sakit hati kalau mengingat perlakuan Mark malam itu. Well, seharusnya dia maklum kalau Mark mabuk. Ya tetap saja dia tidak terima. Baik, seharusnya memang Renjun memukul Mark.

Ini sudah malam dan ruang latihan sepi. Renjun yang niat pulang tadi pun tertahan di sini, dengan Mark. Lampu depan sudah dimatikan hanya tinggal beberapa lampu menyala di sini.

Mark menahan Renjun. Ia menyekal lengan lelaki itu. Tangannya beranjak meraih telapak tangan Renjun dan mengepalkannya. "Aku tahu kau kuat. Pukul aku semaumu!" Mark memukulkan tangan terkepal Renjun ke dadanya. Renjun masih dengan ekspresinya. Datar dan kesal.

"Kau apa-apaan sih hyung!" Menarik tangannya dan membenarkan mantel yang menurun ke lengan atasnya. Renjun menyimpan tangannya di saku mantel.

Mark menunduk. "Aku benar-benar minta maaf Renjun."

Ingatan Renjun kembali pada malam itu. Ia kesal sendiri. Memang seharusnya Renjun sedikit melakukan perhitungan pada Mark. Setidaknya itu akan mengurangi rasa sakit hatinya karena seolah sudah dilecehkan.

Bogeman keras Mark dapatkan di hidungnya. Renjun kuat juga sampai sekali pukul pun Mark mimisan. Mark kembali berdiri tegak karena sedikit tumbang di pukul. "Lakukan lagi!"

Bugh

Mark tersungkur ke lantai. "Lakukan sampai kau puas dan memaafkanku, Renjun!"

Yang lebih muda menurunkan tubuhnya mensejejari Mark. Ia duduk di perut Mark dan meninju wajah itu berulang-ulang kali. Melupakan fakta bahwa setelah ini akan terjadi masalah besar karena salah satu anggota babak belur. Renjun berhenti ketika jarinya sudah memerah. Nafasnya memburu dan ia bersyukur luka di hatinya agak memudar. Lenguhan nafas panjang seiring tubuhnya yang merosot terlentang di sebelah Mark.

Wajahnya babak belur. Mark merasakan wajahnya sakit. Kendati pun ia merasa lega setidaknya sudah menerima apa yang pantas ia dapatkan atas perlakuannya pada Renjun ketika mabuk itu.
"Kau brengsek Lee Minhyung!" Desisnya lalu tertawa keras-keras. Ini sudah pukul 10 makanya ruang latihan agak sepi. Tidak ada yang mengintrupsi mereka di sini.

-tbc-

Wuih aku hampir lupa kalu ini hari Minggu wkwkwk
Ok ini updatenya! Semoga berkenan. Sampai jumpa di Jumat~♡♡♡♡♡

[bl] love me like you do✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang