[6] Kamar 823

177 27 5
                                    

Karina tahu betapa beratnya hari Shelda hari ini. Gadis itu sedang dalam kondisi yang tidak sehat sementara jadwal kuliahnya sudah penuh sedari tadi pagi hingga sore.

"Rin, gue balik ke asrama dulu ya." pamit Shelda yang hari ini enggan bergabung bersama teman-temannya untuk pergi makan bersama.

"Nggak mau nitip makanan sekalian?"
tanya Karina menawarkan kebaikan.

"Nggak usah. Gue minta roti lo yang di kamar boleh kan?"

"Iya, makan aja terus minum obat langsung tidur." ucap Karin penuh perhatian.

Shelda berjalan menuju kamarnya dengan sisa-sisa kesadaran yang ia kumpulkan dengan susah payah. Kepalanya pusing dan kedua matanya terasa berat untuk terbuka sepenuhnya.

Ia menyandarkan punggung di ujung lift sambil memejamkan mata sejenak sebelum pintu lift kembali terbuka.

Di tengah-tengah kesadarannya yang kian lama kian menipis ini, suara lift berbunyi dan pintunya terbuka. Gadis itu melangkah keluar lalu berbelok ke kiri kemudian menyususri lorong hingga ujung. Kamarnya memang terletak di bagian paling ujung. Ia memasukkan kartu untuk membuka pintu tapi tak kunjung terbuka.

"Siapa sih?" tanya pemilik kamar keheranan. Seingatnya, teman sekamarnya pergi ke luar kota untuk keperluan kelas. Lalu siapa yang sekarang sedang kesusahan membuka pintu kamar?

Wajah Bram bingung menatap perempuan yang nyaris jatuh pingsan di depannya. Ia buru-buru meraih tubuh itu sebelum benar-benar jatuh ke lantai.

Ia membaringkan tubuh gadis itu di atas ranjangnya yang berantakan. "Ini cewek sebelah bukan, sih?"

Ia meraih kartu kamar yang masih berada di tangan gadis itu lalu meletakkannya ke meja belajar. Ditatapnya lekat-lekat perempuan yang sedang terpejam di atas ranjangnya itu. Dahinya nampak berkeringat, wajah dan bibirnya pucat, kontras dengan hidungnya yang nampak memerah.

Ia mengulurkan tangan demi menyentuh dahi gadis itu, "Panas gini."

Bram menghela nafas lalu berkacak pinggang. "Sekalinya ketemu kenapa nyusahin, sih?" omelnya.

Ia tidak pernah bernar-benar berinteraksi dengan tetangganya ini, tetapi sekali mereka berhadapan seperti sekarang, kenapa harus dalam situasi seperti ini sih? Benar-benar menyusahkan bagi Bram.

Ia membongkar lemarinya yang sedari awal tidak pernah rapi lalu menarik sebuah handuk kecil yang biasa ia gunakan saat di gym.

"Untung udah gue cuci nih kemarin." ujarnya bermonolog di depan cermin kamar mandi seraya membasahi handuk itu.

Ia kembali ke samping ranjang dan meletakkan handuk basah itu ke dahi si gadis. Bram cuman bisa berharap teman gadis itu segera kembali dan membawanya keluar dari sini. Dia merasa tidak pantas untuk masuk ke kamar gadis itu meski kuncinya tergeletak di atas meja belajarnya. Lagipula dia juga tidak akan berani meninggalkan gadis itu sendirian, bagaimana kalau kondisi gadis itu semakin parah? Dia tidak mau kamar sebelahnya jadi berhantu.

Setiap beberapa menit sekali ia meraih handuk dari dahi gadis itu, membasahinya kembali.

"Oma," rintih gadis itu masih dengan mata terpejam.

"823," panggil Bram yang tidak tahu pasti nama gadis itu.

"Oma," kedua mata gadis itu mengerjap, mengumpulkan kesadaran semampunya.

"Hi, halo." ucap Bram sambil melambaikan tangan kedepan mata gadis yang baru tersadar itu.

"Who are you?" tanya Shelda yang pandangannya masih buram.

"Tetangga lo." Bram menjawab santai.

"Hah?" gadis itu buru-buru mengangkat punggungnya dari ranjang.

"Orang Ind—"

"Iya." Bram memutus ucapan gadis itu, membuatnya melongo. Perempuan itu melipat kedua lengannya di atas lutut lalu menelungkupkan kepalanya. Kepalanya masih pusing.

"Gue mimpi apa sih ya Tuhan... ." lirihan gadis itu masih dapat Bram dengar.

"Bangun sana, balik ke kamar lo sendiri." usirnya pada Shelda yang masih belum baikan dari demamnya.

Sweet Sour SyrupWhere stories live. Discover now