52. Melody

6.9K 462 9
                                    

"Sial! kemana hilangnya sinyal GPS ku?!" ucapku kesal pada layar ponsel yang menunjukan titik merah yang tiba-tiba menghilang.

"Arghh! Shit!" erangku kemudian sebelum menghempaskan tubuh di sandaran kursi kerja ku.

Aku sama sekali tidak mengadakan perjalanan bisnis ke Singapura, sama sekali tidak.

Saat ini aku berada di mansion ku, rumah Javier sesungguhnya.

Aku hanya ingin tahu apakah dengan aku tak ada Hazel akan tetap menurut atau justru sebaliknya.

Dan aku benar-benar marah saat mengetahui ia sama sekali tak bisa di andalkan.

Kemarin ia pergi ke toko ikan bersama keparat itu.

Tentu aku tahu, selain meletakkan alat pelacak aku juga mengirimkan mata-mata untuk mengawasi pergerakan mereka.

Dan hari ini adalah puncaknya, mereka kembali pergi bersama menuju Bengkel si bajingan tengik El.

Untuk apa? bahkan mereka pergi ke kamarnya!

Mereka menganggapku bodoh?

Bahkan aku masih mendengar decakan yang di timbulkan dari penyatuan bibir mereka melalui headset yang kini tersambung ke telingaku.

Aku mengakui Marcello memang pintar karna mengetahui di mana letak aku menanam chip pelacakku pada tubuh Hazel.

Namun ia melupakan fakta lain tentang seberapa licik diriku.

Aku tidak menggunakan kepintaran ku untuk membuat benda-benda bodoh semisal kotak penghilang sinyal GPS.

"Balas ciuman ku, Hazello"

Suara menjijikkan Marcello kembali terdengar di telingaku membuat ku semakin muak .

Dan aku segera mematikan audio nya saat mendengar Hazel melenguh.

Sial!

Bahkan wanita itu sama sekali tidak melenguh senikmat itu saat aku menciumnya!

Brengsek!

"Hazel, apa kau tak pernah tahu rasanya saat luka lama mu kembali menganga karna cara yang sama?" lirihku seraya menatap layar ponselku yang dihiasai potret dirinya saat ia tertidur.

"Dan kini kau yang membuat luka itu kembali hadir, kau menyakitiku" lanjutku serak saat merasakan sebuah benjolan besar terasa mengganjal di tenggorokanku.

*toktoktok*

Suara ketukan pintu membuatku segera mengunci layar ponselku lalu menarik nafas panjang.

"Masuk!" ucapku.

Pintu terbuka menampilkan seorang wanita paruh baya dengan seragam khas maid yang masih setia melekat di tubuhnya yang sudah tak muda lagi.

"Bibi Juli, ya Tuhan... aku merindukanmu" lanjutku sebelum bangkit berdiri dan menyambut kedatangannya dengan pelukan hangat.

"Aku juga merindukanmu, anak nakal. kenapa kau tak memberi tahuku jika kau akan pulang?" ucapnya seraya memelukku semakin erat.

Aku hanya terkekeh dengan terus membenamkan wajahku pada ceruk lehernya, menghirup dalam aroma peluh yang bercampur dengan aroma minyak goreng, bawang bombai dan juga terik matahari yang selalu ku rindukan ini.

"Ini sebuah kejutan" bisikku yang di balas dengan ia yang menarik dirinya kemudian tersenyum lebar.

Bibi Juli adalah pengasuhku sedari aku berumur 2 tahun.

Ya, aku lebih banyak menghabiskan waktu ku untuk di besarkan oleh nya di banding ibuku sendiri.

Karna semua orang tahu, jika Mom dan Dad terbiasa melakukan perjalanan bisnis mereka dan meninggalkan ku dan juga Deandra di rumah, bersama beberapa pengasuh dan kepala pelayan.

Miris? sangat!

"Kau semakin tampan, Vio" ucapnya seraya mengusap sisi wajahku lembut.

Mataku memanas, aku kembali memeluknya erat.

Hanya ia, hanya Bibi Juli yang selalu mengingatkanku akan bagaimana rasanya pelukan kerinduan seorang ibu.

"Aku benar-benar menyayangimu, Bu" bisik ku parau, mungkin sudah lebih dari setahun aku tak pulang dan mengunjunginya? Entahlah...

"Aku selalu senang saat kau memanggilku 'Ibu'" kekehnya, aku terisak mendengar nada antusiasnya.

"Aku lebih menyayangimu, Nak. Kau tahu itu" lanjutnya lembut seraya mengusap punggung ku naik turun. tak lama ia menarik diri lalu mengamati wajahku dengan intens.

"Kenapa kau sangat cengeng? hapus air matamu, ada seseorang yang ingin menemui mu" lanjutnya seraya mengusap air mataku dengan ibu jarinya.

Aku menatapnya bingung.

"Siapa yang-"

"Hai, Savio..."

Kalimatku terpotong saat mendengar sebuah suara lain yang berasal dari arah pintu yang masih terbuka.

Tubuhku menegang,

Bibi Juli yang menyadarinya segera mengusap lenganku pelan.

"Dia kembali, untuk mu" bisiknya.

Aku segera menatap kedatangannya.

Ya, dia kembali.

Dengan sebuah gaun floral berwarna marron yang sangat kontras di kulit putihnya, beserta aroma parfum Coco Noir yang menguar saat Highheels nya berjalan semakin mendekat.

"Melody" gumamku tak percaya.

Ia tersenyum sangat cantik, oh bahkan selalu cantik seperti biasanya.

"Ya, ini aku" jawabnya di barengi dengan kedua tangannya yang terulur untuk memeluk leherku di susul dengan bibirnya yang mengecupku lembut.

"I miss you so bad, Vio" ucapnya pelan.

Lutut ku lemas.

"Me too" bisik ku parau.

****

Stockholm Syndrome (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang