Serendipity Keenam - Menjawab Beberapa Tanya

3.1K 182 106
                                    

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

***

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

***

Pulang mana yang takkan membangkitkan kenangan? Kembali seperti apa yang tidak akan membuat rindu berkurang sekaligus bertambah pada satu waktu? Bukankah tidak ada? Atau mungkin hanya aku saja yang tak tahu akan hal itu?

Karena bagiku, pulang dan kembali memang akan selalu begitu. Penuh dengan kenangan yang menyerang ingatan. Tumpah ruah dengan rindu dan juga rasa-rasa lainnya. Meski aku tak suka dengan hal itu, namun saat ini, lagi-lagi aku harus menghadapinya.

Aku menghela napas dan menggantungkan kacamata pada kerah kaus, setelah menyebutkan alamat rumah pada supir taksi. Kulepaskan jaket yang sejak tadi masih melekat di tubuh, meletakkannya di samping tempat duduk lalu mengeluarkan ponsel dari dalam sling bag. Kusandarkan kepala di jok mobil sambil menghembuskan napas pelan.

Seraya memejamkan mata aku kembali mengingat semua rencanaku yang telah berjalan sempurna. Mulai dari memilih penerbangan terakhir di hari Minggu, meski dengan sederet ocehan yang harus kudengar. Mengabari orang tua bahwa aku sudah tiba di Jakarta dengan selamat, hingga kembali harus menghadapi macetnya Ibukota di hari Senin pukul sembilan pagi.

Serta, tak lupa melonggarkan isi kepala dan mengurangi kenangan yang akan hadir dengan menghindari acara jemput menjemput. Oh ya, tentu saja aku memang sudah merencanakan semuanya dengan matang. Pilihanku untuk tiba di Jakarta pada hari Senin memang bukan tanpa tujuan. Karena siapa yang takkan sibuk dengan sederet rutinitasnya di awal pekan, terlebih di pagi hari? Aku memang sengaja melakukannya, karena lebih baik seperti itu daripada harus terang-terangan menolak kebaikan seseorang, kan?

Aku menolehkan kepala ke kanan ketika mobil berhenti di lampu merah. Kepadatan mulai tercermin dari banyak kendaraan yang tampak. Aku tersenyum tipis melihat wajah kotaku yang sering dibicarakan orang-orang. Semua yang terlihat bukanlah apa yang sebenarnya terjadi, melainkan memang citra yang ingin dibentuk agar kota ini dilihat tangguh. Padahal sejujurnya kota ini rapuh, sama seperti manusia-manusia yang tumbuh di dalamnya. Tak terkecuali aku.

Kutatap supir taksi dari spion dalam mobil seraya mengajaknya berbicara untuk menghentikan ingatan yang akan kembali menyerang. "Pak, nanti kalo ada penjual soto ayam di depan boleh mampir dulu?"

Keping Ingatan (Elegi Renjana)Where stories live. Discover now