4. High Hopes

1.9K 118 40
                                    


I remember it now, it takes me back to when it all first started
But I've only got myself to blame for it, and I accept that now
It's time to let it go, go out and start again
But it's not that easy

                Kodaline – High Hopes

☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆

"Sejak kapan sih, Ras?" tanya gue tanpa kata pengantar begitu dia kembali dengan segelas minuman bersoda yang diberikannya.

Ia hanya menggeleng lalu mengambil duduk di samping gue, "Orang mah napas dulu, ini langsung aja nodong pertanyaan."

Gue hanya berdecak sembari membuka jaket dan sarung tangan yang sejak tadi memang belum sempat dibuka. "Kelamaan, keburu mati penasaran gue."

"Kumat lebaynya. Udah lama. Udah lewat juga, jadi udahlah nggak usah dibahas, Ngit."

"Dan nggak ada satu pun yang tau?"

Dia hanya melirik sekilas, lalu menjawab singkat tanpa mau memalingkan wajahnya menatap gue. "Dulu sih nggak ada kayaknya, tapi kan sekarang elo tau."

"Terus pas akhirnya lo tau, bisa gitu jadi biasa aja?" cecar gue tanpa memberikan jeda dari jawaban yang tadi dia berikan.

Sumpah demi apa pun rahasia yang ada di dunia, gue beneran penasaran sama bocah satu ini. Kadang gue suka nggak habis pikir aja kenapa dia bisa sebegitu rapinya menyimpan banyak hal. Bahkan itu hal-hal yang penting, ya kayak Utara sampai Athaya.

Belum lagi, dia kayaknya nggak ada masalah buat menutupi hal itu. Malah kelihatannya enjoy banget. Coba bandingin sama gue, rahasia seuprit perasaan gue ke Utari aja harus gue ceritain ke dia. Asli, nggak bisa banget gue memendam semuanya sendirian. Kayak ada yang ngeganjel dan menghalangi gue buat bisa bersikap biasa aja.

Tapi dia, si Rasi, si bocah yang susah banget ditebak emosinya ini, bisa banget buat menyimpan rahasia sebesar dan sedalam itu rapat-rapat. Emosi dia, perasaan dia, sikapnya dia semua biasa aja dan tetap natural. Ya kayak memang nggak pernah ada apa-apa. Gila nggak sih? Mana disimpannya sendirian lagi.

Anjir ya, mikir ginian aja udah sakit kepala gue, tapi dia malah tetap aja fokus baca seolah nggak peduli dengan pertanyaan dan rasa penasaran gue.

"Ras, jawab dih." Pinta gue sambil melonjorkan kaki di sofa ruang tamunya yang empuk nggak ketulungan. "Eh ngomong-ngomong, Nyokap lo mana deh? Kok nggak keliatan, nggak kangen apa sama anak lakinya ini?"

"Gatau, ke mekdi kali."

Keselek beneran gue denger jawaban Rasi, "Anjir, malem-malem gini? Gak anak gak emak sama aja, doyannya mekdi."

Sumpah ya, ini Rasi hidupnya kurang wow apa sih? Emak bapaknya lengkap. Rumah adem ayem. Finansial mah ya elo tau sendiri setokcer apa kalau dia aja lanjut kuliah di luar negeri dengan biaya pribadi. Pacar juga sekarang sudah melengkapi hidupnya. Bahagia banget nggak sih kelihatannya?

Rasi menutup bukunya lalu beranjak masuk ke dalam. "Apa kabar elo sih? Malem-malem gini bertamu ke rumah orang cuma buat ngekepo."

Pedes! Skak mat! Tepat sasaran! Udah, itu aja kekurangan ini bocah. Kadang kalau ngomong suka nggak dipikir kalau sama teman yang udah dianggep dekat. Awalnya gue kira dia lemah lembut—ya meski memang begitu sih sama semua orang—omongannya tertata, nggak pernah mau melukai orang dengan ucapan, bahkan anti banget buat menunjukkan kalau dia emosi.

Tapi dulu pernah ada momen di mana gue cerita tentang Utari dia sempet bilang kata-kata yang sampai sekarang gue hapal banget. Lo udah gue anggep temen, Langit. Pilihannya ada dua nih kalau curhat ke gue, satu elo denger baik-baik yang penuh sugarcoating tapi nanti in the end lo bakal sakit hati banget karena menumpuk harapan yang sia-sia. Atau pilihan keduanya, gue bilang hal jujur yang mungkin pas elo denger bakal sakit hati banget, tapi udahannya at least lo bisa tau harus bersikap apa dan nggak harus naruh harapan tinggi-tinggi amat.

Keping Ingatan (Elegi Renjana)Where stories live. Discover now