Part 18: I am not okay

21.2K 1.4K 40
                                    

I said it's fine before, but I don't think so no more

- The cardigans, erase / rewind


[LINDA]

Waktu Oliver bilang sekretarisnya akan menghubungiku soal persiapan pernikahan dia bener – bener serius. 2 hari, cukup segitu waktu yang dibutuhkan oleh Renata, sekretaris Oliver untuk nyiapin semuanya. From the gown, the venue, the decoration, well literally everything.

Tapi ya gak bakalan terlalu ribet juga sih secara kita cuman bakal nikah di kapel lanjut dengan family dinner doang. Jumlah tamu yang datang bahkan gak lebih dari 10 orang. The list would be limited to Oliver's father and brother, Pak Sapto, Renata, dan kita berdua. Aku bahkan gak mau repot – repot ngundang Leon. Semakin sedikit yang tahu, semakin baik. Karena suka gak suka, pada akhirnya ini hanya akan jadi pernikahan kontrak semata. Sad but true.

Sekarang sudah Selasa dan besok kami akan menikah. Fuck it, I don't even care. I am doing this for me, yakinku ke diriku sendiri. Oliver sudah memenuhi janjinya untuk melunasi hutangku, dan kini gantianku untuk membalasnya.

Aku melirik jam tanganku dengan resah, udah jam 5 aja. Oliver arrange dinner buat ayahnya dan aku malam ini, katanya bokapnya mau ketemu. Semoga aja bokapnya gak curiga kalo ini semua gak beneran.

Aku menatapi laptop ku dengan konsentrasi penuh, tomorrow is my wedding day dan aku udah ngajuin cuti 3 hari ke kantor dengan alasan liburan. Another lies, I can get use to it somehow. Gosh, aku menatap laptop dengan frustasi, I really need to finish all my works untuk 3 hari kedepan sekaligus.

Ketukan di pintuku membuatku menengadahkan kepala dari layar laptop dan langsung terkesiap melihat Adrian berdiri di sana.

"Can I come in?" tanya Adrian pelan, kedua tangannya masuk ke dalam saku celana.

Aku terdiam memandangnya. Sudah beberapa hari ini aku menghindari Adrian. Tapi aku kerja di satu korporasi yang sama dengan dia dan seringkali berada di tim yang sama, suatu saat aku pasti terpaksa harus berhadapan dengan Adrian. Dan aku rasa gak adil bersikap kekanakan saat dia bahkan gak tau alasan kenapa aku jadi aneh begini. Maka akhirnya aku hanya bisa mengangguk.

Adrian menutup pintu di belakangnya, menjaga agar pembicaraan kami tetap private.

"So... I guess I'm sorry.. " ucap Adrian kikuk sambil duduk di kursi di depan mejaku.

"Untuk?" tanyaku bingung.

"Karena udah bikin elo pergi begitu aja dari Loewy tempo hari? For whatever the reason is. Sorry Lin, gue... punya salah sama elo ya?"

Aku tersenyum. So this is why I'm so freakin' in love with Adrian. Dia baik, pake banget dan gak peka, sama sekali. Justru dengan dia yang gak peka itu bikin semuanya lebih mudah buatku. Aku gak kebayang kalo dia peka dan nyadar aku kabur dari Loewy tempo hari karena baper ditinggal married sama dia, pasti situasi diantara kita bakal awkward, dan aku gak mau itu terjadi. Secara kita sering banget kerja bareng.

Despite the fact I enter Resolve because of him, aku menyadari kalo aku suka kerja di Resolve. Dan didalam hati aku sadar kalo aku gak pengen resign dari Resolve hanya karena gak bisa berhadapan lagi sama Adrian.

"Do you remember me?" tanyaku mendadak, gak bisa lagi nahan rasa penasaran yang sedari awal aku tahan.

Adrian tertawa di depanku "Pertanyaan loe aneh. Loe amnesia Lin? ya iyalah gue inget elo. Elo Linda, Account Directornya Resolve. Teman gue."

Aku gak bisa menahan denyutan nyeri di dadaku saat Adrian mengucapkan kata teman. Tuh kan, gak peka.

"Kita pernah ketemu sebelum gue di Resolve Adrian. Elo inget?" paksa gue.

Adrian mengerutkan kening berusaha mengingat, tapi matanya kosong. Dan dengan itu saja aku tau kalo aku sudah kalah. Pertemuan kita waktu itu berarti segalanya buatku tapi ternyata tidak buat dia.

Aku merasa dadaku kembali sesak, air mataku mulai terdesak hingga ke ujung mata. Sumpah, aku gak pengen nangis depan Adrian. Untungnya ponselku mendadak berdering, nama Oliver Rosco berpendar di layar.

"Kita ngobrol lagi lain kali Yan, aku harus angkat telpon ini." Ucapku buru – buru sebelum air mataku keburu menetes.

Adrian mengangguk mengerti tanpa merasa curiga sedikitpun, biar gimana Oliver adalah klien besar Resolve, dia berhak nelpon ke Resolve kapan pun dia mau.

"Are we good?" tanya Adrian sebelum melangkah keluar ruangan.

"Yes, we're good" jawabku gak rela sebelum akhirnya mengangkat telepon Oliver.


"Yes" jawabku dengan suara parau setelah memastikan Adrian keluar dari ruangan.

"Are you crying?" tanya Oliver diujung sana. Shit! Yang ini malah kelewat peka.

"Nggak" dustaku. "Ada apa?"

"Aku udah mau masuk lobby, buruan turun."

"Hah?"

"Udah jam setengah 6 Linda, aku beneran gak mau telat ketemu bokap. Daddy sangat tepat waktu." ucap Oliver lagi. "Aku tunggu di lobby. Jangan lupa hapus air mata kamu sebelum ketemu aku atau aku bersumpah akan menghajar siapapun itu yang telah membuat kamu menangis." Lalu telpon ditutup.

Hah?... aku terbengong dengan ucapan Oliver. Itu tadi maksudnya apa?


---

Eciyeee Oliver... uhuk-uhuk... kok gemesin sihhh... hahaha....

How are ya guys? am baackkk... kangen setengah mati sama Oliver gue, sumpah :)

HeartbeatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang