Dua

112 21 5
                                    

Charles Morgan alias ayah tiriku datang ke rumah pukul 11.30, setengah jam lebih awal dari waktu yang ia janjikan. Perawakannya besar seperti pemain football Amerika, bertubuh seksi dan memiliki selera humor yang tidak garing--dalam beberapa hal, sih. Ia juga tampan. Matanya berwarna biru laut yang memikat. Dan, hal itu membuatku yakin mengenai alasan mengapa ibuku bisa jatuh cinta pada lelaki ini. Dia hampir sempurna.

Charles memarkikan mobil mercy-nya dan keluar dengan senyuman paling bahagia yang pernah kulihat. Sejujurnya, ia tidak perlu bertindak seperti itu, sih. Karena ia kelihatan cukup aneh sekarang.

"Oh, Sweetheart, kau datang lebih awal hari ini." Kata Mum membuka percakapan. Ia berjalan mendekati Charles dan melakukan adegan dewasa yang membuatku membuang muka.

"Berhentilah, kalian tahu aku ada di sini," desisku tidak enak.

Charles tertawa, lalu ia berjalan sembari menenteng koper kantornya. "Kau harus terbiasa Jack, suatu hari nanti kau akan melakukannya."

"Tentu saja, tetapi aku akan tahu kondisi."

"Great!" balas Charles.

"Bagaimana pertemuanmu dengan kolegamu, Sayang?" tanya Mum cukup antusias.

"Memuaskan, Sayang. Kami setuju untuk membuat sebuah proyek besar. Aku yakin 90% proyek ini akan berjalan mulus dan memberikan keuntungan yang maksimal."

Mum berbinar-binar. "Aku begitu senang mendengarnya."

"Jadi, agenda kita hari ini?"

Mum menghela napas mendengar pertanyaan itu. Saat ini, ia sedang memasukkan barang-barang pribadinya ke dalam sebuah tas. Sementara, aku lebih memilih duduk dalam diam sembari berkutat dengan ponselku. Dari nada yang dilontarkan Mum, jelas ia sangat tidak bersemangat. Lagi-lagi, aku mulai menyalahkan diri. "Aku akan membawa Jack ke psikolog, Sayang. Konsultasi. Kau tahu kan, seminggu ini Jack berulah terus. Ia selalu bermimpi buruk yang tidak masuk akal. Aku sangat takut Jack akan mengalami gangguan mental yang tidak kita inginkan. Apalagi, liburan musim panas hanya tinggal dua minggu lagi.Aku tidak ingin Jack tidak memiliki teman di sekolah barunya kelak, seperti kejadian yang sudah-sudah."

Aku mendongak beberapa saat dan menemukan kedua orangtuaku menatap penuh prihatin. Jeez, aku benar-benar tidak suka pandangan penuh kekhawatiran itu. Seolah-olah aku sedang mengidap suatu penyakit mematikan dan tampak sangat buruk. Kualihkan lagi pandanganku ke ponsel, sementara dari ekor mataku, Mum tampak menggeleng-gelengkan kepala.

"Bukankah aku sudah mengajarimu bagaimana menghadapi mimpi buruk?" Charles akhirnya berkomentar.

Aku menatapnya cukup lama sebelum akhirnya menjawab. "Sudah kulakukan, dan kurasa itu tidak berpengaruh padaku. Mimpi buruknya lebih kuat."

"Ok, well." Mum mengambil alih percakapan dengan menepuk-nepuk telapak tangannnya. "Sekarang waktunya untuk pergi. Kita memiliki janji pukul 13.00 dengan Sonya Spring. Tempatnya cukup jauh dan aku tidak ingin kita terlambat. Wanita itu sangat menghargai waktu. Ayo bergegas," celotehnya. "Jack, rapikan bajumu dan segeralah naik ke mobil."

Aku memutar kedua bola mataku. Hari ini sepertinya benar-benar akan sangat menyebalkan. Jeez!

***

"Mum?" panggilku. Pemandangan di luar sebenarnya cukup mengesankan, tetapi hatiku masih muram gara-gara teringat kejadian waktu itu.

"Ya, Sweetheart?"

"Di rumah masih banyak barang-barang nenek. Apa yang harus kita lakukan untuk itu?"

"Sebagian kita jual, dan sebagian lagi kita sumbangkan," jawab Mum singkat.

"Mengapa semua orang membicarakan nenek? Em, maksudku apakah benar ia seburuk itu? Mengapa Mum begitu tidak menyukainya? Apakah Dad juga begitu?" tanyaku lepas. Aku sejak dulu begitu penasaran mengapa Mum sangat membenci nenek. Well, terlepas dari dia adalah putri semata wayangnya nenek, Mum tidak pernah menunjukkan kebahagiaan ketika nenek masih hidup. Seolah-olah nenek adalah kutukan di rumah itu.

Nightmare AcademyWhere stories live. Discover now