JANEETA

19 2 0
                                    

[ Janeeta ]

Suasana di mobil begitu hening, seperti sedang dalam mode diam. Untuk memecahkan keheningan, aku mencari-cari lagu di ponsel dan memutarnya kemudian. Lagu dari 5 Seconds of Summer mengisi kekosongan yang sedari tadi terjadi. Suara merdu Calum membuatku menggoyang-goyangkan kepala. Tanda sangat menikmati lagu berjudul “Amensia” ini.

Belum sampai bagian reff, lagu dari band asal Australia itu berhenti. Papa merebut ponselku, mengehentikan kenyamanan yang diciptakan 4 laki-laki beraliran pop-punk itu. Ponselku dicampakkan begitu saja ke jok belakang.

“Ini kesekian kalinya Papa ingatkan. JANGAN pernah memasang musik lagi,” katanya dengan penegasan pada kata jangan.

Ini menyebalkan, musik adalah darahku. Maksudnya, musik sudah menjalar di dalam tubuhku layaknya darah. Musik merupakan bagian dari diriku, bagaimana bisa aku hidup tanpa musik. Lagian tidak ada di dalam undang-undang negara manapun bahwa memasang musik itu dilarang.

Aku pulang terlambat kemarin juga bukan karena kerja kelompok. Tapi latihan di studio. Untunglah aku tidak membawa gitar pribadi. Bisa-bisa tertangkap basah sama Papa.

Aku menatap Papa yang memberikan fokusnya kepada jalan di depan. Ia tidak menghiraukanku yang memasang muka kesal. Ya, aku begitu kesal dengannya. Seenaknya saja membuat peraturan tidak logis. Ini mobil, bukan perpustakaan. Jadi bebas untuk memutar musik.

Kekesalanku menggebu-gebu ingin memuntahkan diri. Sumpah, aku tidak mengerti Papa menjalankan peraturan tidak menyenangkan ini di mobil. Aku sudah mencoba menuruti peraturan ini di rumah, tapi tidak di mobil. Di mana-mana orang pasti memutar musik di mobil, apalagi kalau terjebak macet. Siapapun pasti tidak senang memiliki orang tua seperti laki-laki di sebelahku ini.

Mobil berhenti, tepat di depan gerbang sekolah. Sebelum turun, aku mencari-cari ponselku yang terdampar di belakang sembari mengungkapkan kekesalanku kepadanya. Kasihan kalau dipendam, aku tidak suka memendam hal yang tidak mengenakkan.

“Ini bukan rumah, jadi Papa jangan ngelarang aku. Papa harus bisa terima kenyataan, kalau musik bukan pembawa bencana.” Mataku tidak lepas darinya hingga pintu mobil tertutup.

Aku langsung melangkahkan kaki ke dalam sekolah, tidak berniat berbalik untuk memastikan Papa sudah pergi atau tidak. Tapi rasa penasaran mengalahkan ketidakpedulian pada diriku. Dari kaca spion sebuah motor yang berhenti di depanku, terlihat mobil Papa belum juga bergerak. Semoga saja dia merenungkan perkataanku tadi, bukan merencakan hukuman apa yang pantas buat anaknya yang kurang ajar ini.

Sampai di kelas, aku disambut Reana dengan wajah yang ditekuk. Aku yakin pasti dia marah karena harus berbohong pasal semalam. Sepuluh tahun kami bersahabat dan sepuluh tahun pula aku belum menemukan cara bagaimana untuk membujuknya ketika sedang seperti ini. Di buku-buku “how to-“ saja aku belum dapat cara yang cocok untuknya.

Kalau sudah begini, aku hanya perlu diam menunggunya membaik hingga satu minggu. Terlalu lama? Ya, memang begitu kejam sahabatku ini. Jika mau, aku tidak akan menjalin persahabatan dengannya. Tapi sampai sekarang ini, aku belum mau. Tunggu saja hingga saatnya wahai Reana.

“Orang tua lo curiga?” Reana mengejutkanku. Tumben dia mengajak bicara duluan, dan ini belum satu minggu. Baru juga kurang dari satu hari, aku penasaran kesambet setan apa ini anak hingga secepat ini membaik hatinya. Terima kasih wahai setan, batinku.

Aku diam saja, mencoba berbalik tidak mood. Biar dia tahu bagaimana rasanya tidak dihiraukan dan didiamkan selama seminggu oleh sahabat.

INGIN BERKATA KASAR!!!

Reana kembali dengan mood-nya yang tidak bagus. Sialan, kukira dia akan mengulangi pertanyaannya atau sebagai bonus ia berbalik membujukku yang diam. Ternyata ia tidak peduli, sedihnya hidupku ini.

“Pagi, Janeeta.”

Aku menoleh ke asal suara. “Gue tau ini pagi,” ketusku.

Bukannya kesal atau menunjukkan bahwa ia tidak senang dengan balasanku, laki-laki itu tersenyum manja. Menjijikan, sumpah aku tidak berbohong kali ini. Ia begitu menjijikan. Kalau aku kasar bisa tersebut juga dia hadast besar

“Rambut lo tumben nggak diikat, bosen?”

Andai saja ini bukan sekolah, aku akan melemparnya ke sungai. Tapi sebelumnya aku harus membuat dia babak belur dulu. Kalau perlu memotong tubuhnya menjadi beberapa bagian.

Aku melengos. “Iya.”

Arden, cowok kelas 11 IPA 1. Lumayan keren, masih level lumayan. Dia juga pintar, makanya masuk kelas unggulan. Namun sayangnya dia ini songong, aku tidak suka. Arden pernah secara live menyatakan perasaannya kepadaku. Dengan kata lain, dia nembak Janeeta di tengah kerumunan orang-orang. Memalukan, menjijikan, dan harus dilupakan. Kemudian dengan berat hati, aku menolaknya dengan sangat sopan. Ya, tersenyum serta mengucapkan terima kasih. Masa SMA yang dihiasi dengan kenangan tidak baik karena dia.
Entah kenapa hingga saat ini ia masih bersikap sama kepadaku. Seakan-akan dia tidak menyerah setelah aku menolaknya di depan banyak orang. Tidak jera, cara lain menjauhkannya dari hidupku adalah dengan mengabaikannya. Tapi cukup sulit rasanya. Ia selalu menghampiriku, memberi perhatian, bahkan mengantarkanku pulang kalau aku memang sedang butuh.

Aku mulai menjauh. Tidak ingin dicap sebagai perempuan yang memanfaatkan Arden. Mengapa begitu? Karena aku pernah mendengar sendiri saat di kantin. Pada saat itu, salah satu cewek yang bisa dibilang tukang gosip mengatakan kepada temannya bahwa aku memanfaatkan laki-laki itu. Perempuan tidak tahu dirilah, mau enaknya saja. Deketin Arden buat mengejakan PR saja, atau dekat dengan cowok itu karena biar ada tebengan ke rumah.

Menyakitkan.

“Lo mau nemenin gue nggak nanti?” tanyanya. Ternyata ia masih di depanku sedari tadi. Semoga bel segera berbunyi agar Arden pergi secepatnya.

“Nggak.”

Arden tersenyum. Aneh, dia begitu tegar menghadapiku. Oh Tuhan, aku mohon pertolongan-Mu. Berikan laki-laki di depanku ini kesadaran. Agar ia sadar bahwa aku begitu tidak menyukainya. Aamiin.

IT’S TIME TO BEGIN THE FIRST LESSON.

Syukurlah, bel terdengar juga. Aku begitu senang, ingin sujud syukur saja rasanya.

“Gue balik dulu, ya. Lo belajar yang bener.” Rambutku diacak-acaknya sejenak. Kemudian berlalu menuju kelasnya.

Diam. Aku hanya bisa diam dan menganga. Ini terlalu jauh, ia berani-beraninya mengelus rambutku. Lebih tepatnya mengacak-acak. Tidak bisa dibiarkan, aku harus membuat banteng besar agar ia tidak lagi mengganggu.

Lenganku terasa disenggol. Aku menoleh dengan mulut yang masih terbuka. Reana juga ikut menganga. Kami duet melihat perlakuan Arden tadi. Aku ingin marah dan menjitak kepalanya atau bahkan menendang pantatnya. Namun entah apa yang membuatku membeku di tempat. Aku tidak bisa berbuat apa-apa, yang ia lakukan tadi memberi reaksi aneh.
Reana mengatupkan mulutku dan mulutnya agar tidak dimasuki lalat. “Gila, Arden manis banget,” katanya dengan mata berbinar. “Kayak cowok-cowok perfect di anime itu, loh.”
Aku mengangguk. Dia memang manis.
TIDAK! Dia tidak manis sama sekali.

“Ini kek gue nonton serial Jepang,” ucap Reana sambil menopang dagu dengan kedua tangannya.

Dia akan memulai imajinasinya dengan membayangkan Arden sebagai karakter di anime. “Arden, cowok paling keren di angkatan kita. Dan dia baru aja elus rambut lo, meski lo udah pernah tolak dia.”

Aku memang beruntung. Arden si cowok ker-

TIDAK!

“Nggak, Na. Dia menjijikan,” ucapku dengan muka meyakinkan.

Dia tetaplah Arden yang biasa, tidak ada manis-manisnya. Tetap saja dia rendah di mataku. Dan aku tidak menyukainya. Sampai aku lulus dari SMA, aku tidak akan pernah menyukainya. Janeeta tidak akan menyukai Arden sampai kapanpun. Aku akan mencatatnya di buku besar kalau perlu. Menulisnya besar-besar bahwa aku tidak akan pernah dan mau menyukainya. Titik.

×××
.
.
.
.
TERIMA KASIH SUDAH MEMBACA. BERIKAN DUKUNGAN, KRITIK, DAN SARAN. NANTIKAN PART SELANJUTNYA :)

HARI JUMAT [PROSES TERBIT]Where stories live. Discover now