BERSAMAMU

8 1 0
                                    

[ Jahran ]

Tempat makan bertema bajak laut menjadi pilihannya. Menu seefood pasti akan dominan di sini. Sungguh, aku tidak suka makanan laut kecuali ikan gurami bakar yang masih panas dengan kematangan sempurna.

Sayang di sayang, di daftar menu tidak ada makanan laut. Ini aneh, tidak layak bertema bajak laut. Walau sebenarnya tidak ada sejarahnya bajak laut identik dengan seefood. Tapi tetap saja tidak bisa. Kalau bertema laut, makanannya juga harus bertema laut terutama ikan bakar. Jika dihubungkan pula dengan taman bermain ini, tidak ada wahana bermain air, jadi kurang sinkron rasanya.

Permasalahan ini perlu dipertanyakaan. Kalau saja Reana ada di sini, ia akan protes ke pemilik karena dengan asal-asalan memilih tema tempat makannya.

"Kamu pesan apa?" tanya Farah.

Mataku mencari-cari yang angkanya paling rendah. "Nasi goreng ayam kampung."

Abang-abang di sampingku langsung mencatat pesananku. Kata Mama, kalau makan nasi goreng itu enaknya dipadukan dengan minuman yang sehat. Jadi, aku memesan jus wortel campur jeruk untuk menghilang dahaga, sekaligus menetralkan perutku. Sedangkan Farah memilih memesan gado-gado dan es campur.

Dia penasaran sama rasa keduanya. Tidak heran kalau abang-abang tadi mengerutkan dahi melihat pesanan Farah. Mungkin di sini, bule-bule pesannya yang kelas atas, tapi Farah malah milih yang beda. Ya, dia memang beda. Sangat berbeda. Pantas saja disukai.

Sembari menunggu pesanan, gadis di depanku ini membuka obrolan kami. "Kamu mau main apa setelah ini?"

Aku berpikir sejenak, mencari-cari permainan yang tidak terlalu memacu jantungku berlari. Serta wahana yang tidak membuatku mengeluarkan nasi goreng yang akan kumakan nanti. Karena muntah itu tidak enak, dan merasakan jantungmu berdetak kencang itu tidak pula menyenangkan.

"Boneka capit."

"Apa itu?" Dahi Farah berkerut, tanda bahwa ia bingung.

Sebenarnya aku tidak tahu nama asli dari permainan itu. Sejak kecil, aku selalu menyebutnya boneka capit. Itu loh, permainan yang kita mengambil boneka dalam sebuah kotak menggunakan capit. Aku tidak tahu namanya, jadi kusebut saja namanya boneka capit. Soalnya nanti bonekanya ditarik sama capit itu.

Kebingungan melandaku untuk menjelaskan permainan yang satu itu. Andai saja kau tahu namanya, pasti tidak akan sesulit ini. Jadi, aku memilih untuk memperagakan permainan tersebut layaknya pramugari yang memperagakan cara menggunakan alat pernapasan ketika pesawat dalam keadaan gawat.

"Anggap ini boneka," kataku menunjuk sapu tangan di meja.

Kemudian tanganku mulai terangkat ke atas. Jari-jari tanganku membentuk capit, bergerak-gerak ke kanan-kiri, depan-belakang. Tangan kiriku menekan meja, diikuti capit terbuka yang turun kebawa.

"Stop!"

Farah menghentikanku.

"Saya sudah tau itu permainan apa. Hahaha..." Ia tertawa lepas.

Dengan mengertinya dia, aku menghentikan aksi konyol tadi. Padahal aku ingin melanjutkan, namun ia sudah mengerti. Tengkukku yang tidak gatal kugaruk pelan dan tersenyum kikuk.

"Namanya memang boneka capit?" tanyanya.

"Sebenarnya, aku nggak tahu namanya apa. Jadi buat nama sendiri."

Tawanya kembali pecah. Tidak lucu padahal. Mungkin itu selera humornya. Biarlah ia tertawa. Lagian tidak ada undang-undang tentang menertawai teman yang memperagakan boneka capit.

Makanan kami datang untuk menghentikan tawa Farah. Sepertinya abang-abang itu tahu kalau Farah tertawa, tidak enak didengar. Aku serius, kali ini tidak enak saja. Meski ia bagus kalau bernyanyi, percayalah bahwa ketika ia tertawa tidak enak didengar. Kami menikmati makanan masing-masing. Farah terkadang menyelinginya dengan menceritakan apa yang ia alami di sekolah.

Ngomong-ngomong, Farah bersekolah tidak jauh dari sekolahku dan aku baru tahu. Ia berencana mengunjungi sekolahku kapan-kapan. Kalau saja boleh, aku akan pindah sekolah besok. Sayangnya tidak bisa, tidak ada alasan untuk pindah sekolah yang pantas untuk hal ini. Bodoh sekali kalau pindah. Tindakan itu tidak akan terjadi dan tidak akan direstui. Jika aku meminta pindah, mata Papa tidak akan melotot lagi, tapi keluar dari sarangnya.

Kembali ke cerita. Hari ini, ada seorang siswa laki-laki yang memberi Farah coklat dan menyatakan perasaannya. Pernyataan Farah mengejutkanku, ia menolak cowok tampan itu. Menurut cerita, siswa tersebut adalah kapten basket sekolahnya. Aku kenal dia, Jojo namanya. Cowok paling ganteng di sekolah itu, tapi otaknya tidak memadai. Terkadang ia terkenal karena ketampanan, dan kadang pula terkenal karena kebodohannya yang membuat ia pernah tinggal kelas.

"Jadi, saya bilang terima kasih. Seperti yang kamu lakukan waktu itu." Farah selesai dari makannya. Ia menopang dagu dengan kedua tangannya sambil menatapku.

Apa-apaan ini? Menatap orang sambil makan itu sangat janggal bagiku. Ditambah ia mengingat penolakan waktu itu. Sumpah, aku deg-degan. Dengan segera aku menyelesaikan nasi goreng yang tidak begitu enak ini. Kemudian minum jus yang kebanyakan air.

Aku selesai. Tapi Farah belum selesai. Dia seakan tidak berkedip melihatku. Aku harus apa? Melakukan yang sama seperti yang ia lakukan? Tidak akan.

"Kamu masih suka aku?"

Kambing. Pertanyaan jebakan dan tepat sasaran. Mati aku kalau begini. Jawaban apa yang harus kuberi? Rumus integral tidak akan bisa menjawabnya. Begitupula dengan rumus elastisitas.

Dengan segala kekuatan di sekitar, aku mengalihkan pembicaraan. "Kita jadi main?"

Farah diam. Aku salah mengambil langkah. Ia beranjak dari tempat duduk dan pergi dari hadapanku. Aku harus menahannya, ia tidak boleh ngambek. Itu pesan beliau.

Aku pun ikut beranjak dari tempat duduk. "Far-"

"Apa? Saya mau bayar dulu."

Aku hanya bisa terkekeh. Malu sekali. Ternyata dia tidak ngambek. Bodohnya aku tidak berpikir bahwa ia akan membayar. Beginilah kalau kebanyakan nonton drama yang bikin bawa perasaan.

Untung tidak ada yang melihat. Kalau tidak bisa mati gaya aku di sini.

Setelah membayar semua santapan kami, Farah menghampiriku. "Ayo."

Kami keluar menuju boneka capit yang tidak terlalu jauh. Biasanya permainan ini adanya di dalam mall atau pasar malam. Aku sempat terheran-heran mengapa ada benda kotak ini di tempat yang tidak seharusnya. Biarlah, urusan si pemilik.

Berusaha adalah kunci keberhasilan. Tapi nampakya kalimat itu tidak berfungsi kepadaku. Aku sudah berusaha mendapatkan boneka, tapi dari 6 kesempatan tidak ada yang berhasil. Mungkin ini yang dinamakan sombong tidak membuahkan hasil. Tadi aku memang cukup percaya diri bisa mendapat boneka.

Dengan senang hati, Farah sebagai pemain cadangan menggantikan perjuanganku.

Aku melongo. Hanya sekali saja, ia sudah mendapatkan boneka yang ia inginkan. Luar biasa. Bahkan bonekanya cukup besar. Seperti dapat number one di pasar malam itu. aku bertepuk tangan sambil ternganga.

"Yeay. Kamu mau boneka yang mana?" tanyanya sembari mengambil boneka yang ia dapatkan.

Mencoba sombong sepertinya.

"Aku tidak suka boneka," jawabku.

"Biang lala?"

"Aku juga tidak suka boneka itu."

Dengan ganasnya Farah mencubit lenganku. "Maksud saya kita naik biang lala. Sepertinya bagus menikmati sunset di atas sana."

Aku mengusap-usap lenganku yang tadi dicubitnya. Garang sekali memang gadis ini, padahal ia mencubit sambil tersenyum. Tapi tetap saja sakit, tidak bohong.

Walau tidak ingin naik biang lala, aku tidak bisa menolak. Kasian juga mukanya, meski aku tahu itu dibuat-buat untuk merayuku. Aku pun mengiyakan permintaan Farah.

Alasanku ingin menolak karena tidak ingin ada pembicaraan yang serius di sana nanti. Karena seperti di film-film, sepasang muda-mudi akan merasakan momen romatis di biang lala dan membicarakan sesuatu yang membuat penonton berteriak. Maksudnya berteriak karena terbawa suasana yang diciptakan pemain.

Akhirnya kami naik juga. Aku sedikit khawatir, bukan karena takut ketinggian. Namun karena hal yang kutakutkan tadi itu. Wajah Farah berseri-seri, pasti dia akan membahas hal itu di atas sana. Kuharap tidak.

Hawa dingin menusuk kulitku saat sampai di atas. Gadis di depanku ini begitu sumringah melihat pemandangan di bawah kami. Terutama hari hampir gelap, dan cahaya dari gedung sekitar menciptakan view yang menawan.

"Kamu masih suka saya, Jahran?"

Tuh, kan. Ini tidak menyenangkan, ingin melompat jadinya. Dia akan membahas ini. Sudahlah, nikmati saja pemadangan itu dan hiraukan aku wahai Farah. Aku sungguh tidak nyaman dengan keadaan ini. Ditambah posisi kami yang sudah di atas, membuatku sulit untuk melarikan diri. Ingin rasanya aku teriak kepada petugas di bawah sana untuk segera menurunkanku agar aku tidak terjebak dengan pertanyaan dari gadis cantik ini.

Aku menghela napas. Ada baiknya kujawab yang sebenarnya. "Jahran suka kamu."

Matanya berbinar. Menjijikkan sekali, seperti habis menerima piala Oscar. Ada baiknya Farah diam setelah ini dan menikmati pemadangan. Atau tidak mengapa jika ia mau menikmati pemandangan di depannya, yakni aku. Aku sedang malas mengobrol dengannya.

Benar saja, gadis berdarah campuran itu diam. Sambil senyum-senyum. Oalah, senang sekali rupanya. Memang, jatuh cinta itu menyenangkan. Tapi terkadang menyakitkan. Membuat sang pemeran ingin meninggalkan.

×××
.
.
.
.
.
.
TERIMA KASIH SUDAH MEMBACA, SEMOGA MENIKMATI. JANGAN LUPA KRITIK, SARAN, DAN DUKUNGANNYA.

NANTIKAN PART SELANJUTNYA

HARI JUMAT [PROSES TERBIT]Where stories live. Discover now