PENGAKUAN

11 1 0
                                    

[ Janeeta ]

"Suara lo harus berat. Jangan kasih kesan buruk." Arden menasihati bak seorang legenda.

Aku tidak perlu nasihatnya itu. Sudah biasa aku berbicara seperti laki-laki dengan Farah. Beruntungnya suara aku dan Jahran itu tidak jauh tipis. Hanya perlu sedikit "penarikan" pada leher saat berbicara, aku sudah seperti laki-laki. Jadi tidak ada kesulitan ketika aku berbicara dengan Farah.

Wig-ku tidak bertengker lagi di kepala. Menunjukkan rambut asliku yang sudah tertata rapi seperti rambut Jahran kalau mau pergi sekolah. Orang-orang yang melihatku pasti mengira aku laki-laki. Beberapa remaja perempuan yang lewat sempat curi-curi pandang. Aku memang tampan, tapi aku tidak suka. Aku lebih suka diriku yang cantik, aku memang cantik, Arden mengakuinya. Jadi jangan sukai aku yang seperti ini, aku masih normal.

"Eh, itu Farah."

Perkataan Reana membuat aku panik. Arden langsung mendorongku menjauh dari mereka. Dorongannya cukup kuat. Kalau saja sedang tidak seperti ini, akan kubalas dia. Kudorong dari lantai dua mall ini kalau perlu.

Benar saja, Farah berjalan ke arahku. Senyuman manisnya yang khas mengembang dari kejauhan. Sesuai arahan ahlinya, aku membalas senyuman itu lebih manis juga. Untuk mengakhiri kebohongan, diperlukan kebohongan lainnya. Tidak apa-apa, setelah ini tidak akan ada lagi berbohong, sudah cukup pupuk yang kutebar di atas dosaku.

Kami berdua mengenakan outfit seperti biasa. Aku dengan jaket dan celana jins, dan Farah dengan kemeja merah jambunya. Celana jins putih melekat di kaki jenjangnya. Ia tidak mengenakan high hells, hanya sneakers putih polos. Ia tidak memakai riasan wajah, kalau kulihat hanya sedikit bedak tabur.

Rambut panjangnya kali ini diikat layaknya ekor kuda. Sebuah sling bag semakin memaniskan dirinya. Pantas saja Jahran menyukainya, selain sifatnya yang manis penampilannya juga manis. Aku jadi iri. Lain kali aku perlu belajar mempermanis diri dengannya. Siapatahu ada cowok yang bisa memikat hatiku dan aku bisa memikat hatinya, lalu jadilah kami perpaduan yang sempurna.

Meski tertutupi parasnya, aku dapat melihat mata Farah yang sedikit memerah. Apakah ia menangis? Mungkin habis merindukan Papanya.

"Good day, Jahran," sapanya dengan begitu semangat. Aku salut dengannya yang masih bisa semangat meski baru saja kehilangan orang yang ia sayang.

"Good day juga, Farah."

Jujur, aku tidak terpaksa. Aku memang benar-benar membalasnya dengan sepenuh hati. Telingaku mendengar cekikikan tidak jauh dari tempat kami. Aku yakin itu dua curut yang sedang melihat tingkahku yang beda dari biasa. Awas saja kalian berdua. Ah, panggilan curut memang pantas untuk mereka.

Farah mengulum bibirnya, mungkin makan permen. Aku melirik ke meja dua curut tadi. Arden yang tengah pura-pura berbincang dengan Reana mengacungkan jari telunjuk dan tengahnya.

"Kamu mau gerak sekarang?" tanyaku kepada Farah. Pertanyaan yang aneh kedengarannya.

Dengan semangat Farah mengangguk hingga rambutnya bergoyang-goyang di belakang. Aku pun menuntunnya ke tempat tujuan kami.

Sempat kulihat Arden mengangkat tangannya tinggi-tinggi sembari mengacungkan 3 jari. Namun aku mengabaikannya. Maksud dari jarinya itu adalah menjalankan arahannya yang ketiga. Aku tidak mau melakukannya. Menautkan jari dengan Farah akan membuatku mati seketika. Apalagi nantinya aku akan mengaku, kalau dia bawa perasaan bisa-bisa kami jadi...

Ah, sudahlah. Seperti rencana, Arden dan Reana akan mengikuti kami dari belakang. Kalau diperhatikan, mereka ini sudah mirip agen rahasia yang ada di film-film box office. Namun melihat muka mereka yang seperti curut kelaparan tampaknya tidak cocok. Jadi lebih cocok seperti host yang membawakan acara untuk memutuskan hubungan pasangan.

HARI JUMAT [PROSES TERBIT]Where stories live. Discover now