JUMAT#5

2 1 0
                                    

[ Janeeta ]

Pintunya masih tertutup. Sejak hari itu, aku tidak pernah melihatnya keluar lagi dari kamar itu. Berlari cepat untuk menyalipku masuk kamar mandi. Memberikan ledekan karena berhasil mendahuluiku. Dan ia memang berhasil mendahuluiku. Bahkan mendahului kami semua.

Tanganku terjulur memutar knop pintu. Bau gitar tua menyambut dan menyusup ke hidungku. Kakiku melangkah masuk. Kamarnya masih sama, tidak ada yang berubah. Pemiliknya yang berubah, tidak ada lagi di sini.

Aku mendatangi gitar hitam yang tergantung di dekat meja belajarnya. Perlahan, kuelus tubuh alat musik kesayangannya ini. Dingin. Sudah lama tidak dimainkan. Aku merindukannya. Sangat rindu.

Tanganku pelan-pelan membersihkan debu yang hinggap pada gitar. Tali-tali senarnya masih kuat, namun suaranya agak aneh karena tidak disetel. Beberapa goresan tampak menghiasi badan gitar.

"Ta," panggil seseorang.

Spontan aku langsung menoleh ke asal suara. Mama berdiri di ambang pintu. Wajahnya sangat lesu, ada lingkaran hitam di matanya. Pasti kurang tidur karena pesanan kue yang banyak akhir-akhir ini.

"Kamu kok nangis?" Wajahnya langsung berubah cemas. Segera kuhapus air mata menjijikkan ini. Bisa-bisanya aku menangis tanpa sadar. Memalukan.

Aku menggeleng, kemudian melihat pada jam dinding. Sebentar lagi aku akan terlambat. Kakiku langsung beranjak keluar meninggalkan Mama di sana. Namun saat hendak menuruni tangga, Mama mengatakan sesuatu yang membuat hatiku renyuh.

"Kita semua merindukannya."

Dengan cepat kuturuni tangga untuk menemui Papa yang sudah menunggu. Sebelum Papa mengomel, aku langsung memasuki mobil. Papa sempat membuat ekpresi heran, aku tidak mau membahasnya meskipun tidak ditanya.

Selama perjalanan ke sekolah, aku hanya diam. Tidak juga memasang lagu. Aku sedang tidak ingin berdebat dengan Papa. Sungguh, aku begitu bingung. Bahkan aku sendiri tidak tahu apa yang terjadi kepada diriku. Dan aku tidak menemukan jawaban mengapa aku memasuki kamar itu tadi.

"Lo keknya harus hentikan ini, deh." Reana mengunyah baksonya dengan lahap. Namun matanya tidak lepas dari komik yang ada di meja kantin.

Seharusnya waktu dia sudah habis untuk membaca. Tapi aku sedang tidak ingin membaca. Rasanya malas saja, tapi aku tetap tidak ikhlas komik itu menjadi milik Reana. Uangku ada di sana, aku mendedikasikannya untuk bersama.

"Halo, Janeeta sayang."

Tanpa aku melihat, aku sudah tahu itu siapa. Laki-laki itu tidak jera juga meski sudah kujitak berkali-kali. Apa perlu aku menendang "pisangnya" agar dia berhenti? Kalau sudah begini, aku menjadi bahan tontonan orang-orang di kantin. Bukannya membantu, Reana malah tersenyum menggodaku. Ini anak sudah berpihak kepada Arden semenjak aku kalah taruhan bayar ongkos pulang di Jumat yang lalu.

"Nanti temuin gue di kelas. Pulang sekolah," kataku dengan masih tidak melihatnya.

Cukup lama tidak ada jawaban. Barulah ketika aku berdeham Arden memberikan respon. "Siap, bos!"

Menjijikkan. Aku menoleh ke belakang. Ia sudah meninggalkan kami. Syukurlah ia tidak bertahan di sini. Kalau tidak, habislah aku dilihatin orang terus. Arden memang suka sekali menjadikanku tontonan orang-orang. Terutama untuk membuat para cewek cemburu. Anak itu sok keren, sok ganteng, sok banyak penggemar padahal hanya orang bodoh yang menyukainya.

Reana menghentikan kegiatannya. Tatapannya memberikan tanda tanya untukku. Ini anak kalau sudah penasaran susah dihindari. Ia akan gencar menanyakan hal yang ia ingin ketahui terus menerus.

HARI JUMAT [PROSES TERBIT]Where stories live. Discover now