Titik Teduh #3

12.5K 1.6K 201
                                    

***

Papa tidak di rumah, belum pulang, masih ada pekerjaan yang harus diselesaikan, itu pesan Papa sebelum Salena dan Mama sampai di rumahnya, di Kawasan Cempaka Putih Timur. Sebelumnya, ketika Mama memberitahu Papa bahwa Salena ingin tinggal bersamanya, Papa dengan antusias datang ke rumah, hanya bertemu Mama, untuk menitipkan kunci rumah, berkata bahwa, Takutnya saya sedang nggak ada di rumah ketika Salena pindah. Seperti kamu tahu, kerjaan saya nggak bisa dipastikan kapan mulai dan kapan selesai.

Sebelum pergi, meninggalkan Salena sendirian di rumah minimalis bercat putih dan abu-abu itu, berkali-kali Mama berkata, “Kalau kamu ingin berubah pikiran, nggak apa-apa, Le. Dengan senang hati Mama akan bawa kamu pulang dan kita kembali tinggal bersama.”

Salena menolak, menarik dua kopernya masuk dan mempersilakan Mama pulang, membalasnya dengan ucapan, “Jarak kita sekarang hanya terpaut nggak lebih dari sepuluh kilometer. Aku akan pulang jika mau, tapi aku mohon Mama jangan ke sini dan sering mengkhawatirkan aku. Aku baik-baik aja.”

Setelah itu, akhirnya Mama pulang, tentu setelah memeluknya lama dan mengusap sudut-sudut matanya yang basah.

Namun, tidak sampai di situ. Setelah sampai di rumah, Mama mengirim pesan hampir setiap menit, menelepon jika ia ingat akan Salena yang sekarang tidak ada di rumah. Mama berhenti membujuknya saat pukul dua belas malam, saat Salena bilang bahwa dia benar-benar mengantuk dan ingin tidur. Mama menyerah, menutup teleponnya, tapi Salena tidak menjamin keesokan harinya Mama tidak akan melakukannya lagi—hal melankolis itu.

Salena baru saja menutup kelopak matanya, pandangannya yang sejak tadi memandang langit-langit kamar, berubah gelap. Dia terlelap. Kenangan-kenangan lalu yang tidak berurutan segera berlarian di dalam kepalanya. Di alam bawah sadar, dia sadar bahwa dia sedang tertidur tetapi entah kenapa isi kepalanya terus bekerja untuk membangkitkan kenangan-kenangan lalu atau semua hal yang sedang dipikirkannya sebelum tidur, semua terputar secara acak.

Tentang ulangan Fisika hari Senin, tentang Papa yang mendorongnya di ayunan di taman depan rumah, tentang Kak Kessa yang pulang ke rumah dengan wajah sedih setelah putis dengan Kak Jayaz, dan ....

“Le?”

Ujung bulu mata Salena bergerak-gerak, kelopak matanya mengerjap perlahan.

“Le? Udah tidur?” Suara berat dan serak, yang Salena terka terlalu banyak mengonsumsi rokok itu, terdengar dari luar pintu kamarnya. Tidak kencang, malah hanya terdengar seperti gumaman, tapi tentu mampu membangunkan Salena. Bahkan Salena pernah terbangun hanya karena suara cicak.

Dia bangkit dari tempat tidur, menyibak selimut dan menjulurkan kakinya untuk menyentuh karpet. Dia melangkah mendekati pintu, lalu membukanya.

“Hai?” Papa yang sudah menjauh dari pintu kamarnya, segera berbalik, menghampirinya. “Kamu belum tidur?” tanyanya.

Salena sudah lama tidak tahu nikmatnya tidur seperti apa, sehingga dia selalu bisa menampilkan wajah bangun tidur terbaik setiap kali terjaga. “Ada apa?” tanyanya.

Papa tersenyum. “Bisa bicara sebentar?” tanyanya.

Sebelum menutup pintu kamar, Salena melirik jam dinding di kamarnya yang ternyata sudah menunjukkan pukul dua dini hari. Ini termasuk salah satu alasan mengapa Mama tidak mengizinkannya tinggal dengan Papa, awalnya. Papa itu punya pekerjaan yang nggak tahu waktu kamu akan sering sendirian di rumah. Sebagai seorang reporter, pekerjaannya memang mengharuskan Papa mengorbankan banyak waktunya.

ONCE (Titik Teduh) [Sudah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang