Titik Teduh #16

9.5K 1.5K 478
                                    

Arghi : Memaafkan itu pilihan, tetapi nggak ada salahnya dipaksakan.

Salena turun dari mobil Papa, menutup pintu dan berjalan menjauh melewati gerbang sekolah.

"Le, I love you!" Teriakan itu terdengar saat Salena sudah sampai di depan pos sekuriti. Papa membuka kaca jendela mobil dan melambai-lambaikan tangan. Papa tahu Salena tidak pernah membalas ucapan atau lambaiannya, tapi tetap melakukannya.

Sebelum kaca jendela itu tertutup, Salena mengangkat tangannya—yang berat—lalu melambai dua kali untuk membalas salam perpisahan Papa.

Papa menyengir, balas melambai lebih semangat.

Salena melirik jam, saat tahu bel masuk sebentar lagi akan berbunyi, dia menggerakkan tangan untuk mengusir Papa.

Papa mengangguk sembari membuat kode 'oke' dengan tangannya. Lalu menyengir lagi sebelum menutup kaca jendela dan melajukan mobil.

"Aku baru tahu kalau Arghi jadi anggota KIR." Suara itu membuat Salena menoleh cepat. Agfa berdiri di belakangnya sambil membawa selembar kertas. "Ini dari Adnan," ujarnya seraya memperlihatkan daftar nama anggota KIR, dan nama Arghi tertulis paling akhir di sana.

Salena mengangguk. "Iya, soalnya aku butuh bantuan Arghi untuk proyek ini."

"Nggak ada yang lain, ya?" tanya Agfa, meragukan.

"Kenapa memangnya?" Salena mengerutkan kening.

"Harus ya ngajak anak IIS masuk KIR?" Agfa menggeleng heran.

"Nggak ada larangan untuk itu, kan? Semua jurusan berhak masuk ekstrakurikuler apa pun?"

"Apa karena kamu lagi deket sama Arghi, jadi kamu—"

"Kamu kenapa, sih?" Salena merasa Agfa berlebihan. "Nggak ada hubungannya aku lagi deket sama Arghi atau nggak. Aku memang butuh dia untuk ngerjain proyek ini."

"Harus Arghi?"

"Harus ya pertanyaannya diulang?" tanya Salena. "Adnan udah nyerah sama proyek ini dan aku ketemu Arghi yang—aku rasa—bisa ngerjain ini."

Agfa membuang napas berat, lalu mengusap wajahnya dengan kasar. "Kok aku rasa nggak sekadar itu, ya?"

"Maksudnya?"

"Le, kita kenal berapa lama, sih? Lama." tanya Agfa. "Dan aku tahu sekarang kamu berubah. Aneh. Bukan Salena yang dulu."

Dan Salena terkekeh pelan, lalu meringis. "Aneh?"

Agfa menahan tangan Salena ketika langkah Salena sudah terayun untuk menjauhinya. "Aku boleh nggak sih takut kehilangan kamu?" tanya Agfa. "Karena Arghi."

Salena menatap Agfa. "Fa?"

"Kamu makin deket kalau aku lihat-lihat."

"Aku datang setiap kamu butuh. Aku dengerin kamu. Masih kayak dulu."

"Dulu nggak ada Arghi," bantah Agfa. "Asal kamu tahu, aku sengaja nggak ngasih tiket nonton yang Adnan titip waktu itu," akunya.

Salena mengernyit.

"Pagi, Agfa! Lele!" Dasha datang, menghentikan aksi saling tatap yang masih dilakukan Agfa dan Salena. "Udah pada sarapan?" tanyanya.

Salena menjawab, "Udah." Sementara Agfa menggeleng.

"Karena Agfa yang belum sarapan, jadi sandwich-nya gue kasih buat lo." Dasha mengeluarkan kotak bekal dari dalam tas dan memberikannya pada Agfa. "Habisin, ya."

ONCE (Titik Teduh) [Sudah Terbit]Dove le storie prendono vita. Scoprilo ora