Dara dan Awalnya.

11.1K 951 82
                                    

Gue cukup ngga nyangka UKM Mapala yang gue geluti selama 2 tahun ini bisa jadi boomerang buat kesabaran gue. Pernah ngga, masuk ke sebuah komunitas dan udah nyaman banget tapi gara-gara anggota baru semua jadi mengesalkan? Well, itu yang sedang terjadi sekarang di tubuh Mapala.

Oh iya, gue Andara Lintang Maiza. Biasa dipanggil Dara, tapi khusus anak-anak Mapala manggil gue Maiza. Katanya biar unik, padahal ngga juga. Tapi ngga bisa bohong, kadang merasa spesial aja dipanggil 'Iza' di saat semua circle gue manggil dengan 'Dar'.

Balik lagi ke masalah Mapala. Jadi beberapa minggu lalu kami baru saja buka pendaftaran anggota baru dan terpilih 6 mahasiswa dan mahasiswi dari semester 1 dan 3. Hari ini adalah hari pertama kami kumpul buat memutuskan gunung apa yang akan jadi tujuan pendakian pertama kami, sekaligus mereka para anggota baru.

Tapi, duh, kesel banget deh. Kenapa yang terpilih malah manja-manja semua?

Belum apa-apa mereka udah mengeluh dengan berbagai macam excuse, terlebih menjadikan organisasi lain sebagai tameng mereka. Ini baru diskusi, loh, belum mendakinya.

Gue ngga pernah suka sama orang yang menjadikan organisasi lain sebagai alasan, harusnya sejak awal mereka sudah memperhitungkan. Kalau enggan, sekalian saja ngga usah daftar.

Kok malah ngerepotin?

"Kalian atur sendiri aja lah kalo semuanya serba ga mau." Final. Gue berdiri dan memilih keluar ruangan. Bodo amat deh orang-orang di dalem manggilin. Sumpek tau, satu ruangan sama orang yang suka ngerengek.

Ruang Mapala sendiri berada di dalam gedung pusat kegiatan mahasiswa alias PKM. Posisinya tepat sekali di tengah-tengah ruangan PMR dan BEM. Kalau lagi ospek, ruang Mapala jadi langganan tempat inap panitia. Jangan heran, ruangan kami memang senyaman itu. Harus, dong. Kalau kami baru turun dan kecapekan, kebanyakan dari kami memilih tidur dulu di ruang Mapala. Itulah sebabnya kami punya tiga matras hasil patungan selama satu semester.

Itu pun nagihnya harus sambil tarik urat dan baku hantam.

Ga deng, ngga sampai segitunya.

Gue sayang banget sama Mapala, sesayang itu sama makhluk-makhluk di dalamnya. Jadi yang tadi itu bukan karena gue marah, ngga. Mana bisa sih marah sama mereka yang tiap malem harus satu-satu dibalurin minyak kayu putih dan minyak tawon biar ngga masuk angin? Ngga bisa.

Begitu keluar dari ruang Mapala dan berniat mau sekalian cabut ke kantin ㅡsebenernya laper banget karena terhitung 24 jam belum makanㅡ, pintu ruang BEM terbuka dengan kasar disusul seseorang yang keluar dengan tampang cukup kaku.

Gue? Kaget dong, di depan mata banget kejadiannya.

Mungkin orang itu sadar kalau ada orang lain di koridor, makanya dia nengok, ke gue. Gue deg-degan, bukan karena liat jurig, bukan. Tapi masih kebawa kaget.

"Ngagetin, ya?"

YA MENURUT NGANA AJA.

"Yaiya lah."

"Sorry, ya. Ga maksud."

Gue memilih buat ngga jawab, kayaknya tensi dia lagi tinggi dan gue juga dalam keadaan cukup kesal. Dia pergi, gue acuh. Gue pun menyusul pergi, sesuai dengan rencana semula, ke kantin. Sebelum maag gue dateng tanpa diundang.

Omong-omong, kembali ke Mapala. Gue ngga kepikiran kalau kegiatan ini bisa menyita atensi dan afeksi gue. Dulu gue ngga suka-suka banget sama daki gunung, sampai almarhum Papa ajak ke Bromo. Itu pertama kalinya gue dateng ke gunung, meskipun ngga mendaki karena kami naik jeep. Tapi tetap saja, sensasinya, gue suka. Setelah itu rasa cinta terhadap gunung dateng secara tiba-tiba dan Papa dengan sukarela memenuhi rasa penasaran gue.

[1] 2958 MdplTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang