2. Makan Malam

27.6K 3.7K 547
                                    

Versi baru, 2020.

©sourceofjoyful











Kami adalah orang pindahan di kota ini. Tapi karena semua anak Ayah pintar beradaptasi, maka kami dengan mudah membaur dengan kebiasaan-kebiasaan orang di kota ini yang sebagian besar berbeda dengan kebiasaan orang-orang di kota lama kami.

Hari ini Ayah pulang malam dan Bibi yang biasa mengerjakan pekerjaan rumah sedang cuti. Jadi, Mas Jae berbaik hati mengajak makan di luar.

Mas Jae memilih restoran yang cukup terkenal karena suasananya ramai sekali. Seperti biasa, aku duduk di tengah-tengah mereka.

Kami diam hanyut dalam aktivitas masing-masing memainkan gadget.

Pesanan minuman kami datang terlebih dahulu.

Mas Jae dan Mas Ian pesan kopi - seperti biasa, Mas Surya yang katanya lagi diet pesan teh herbal, Mas Wirya dan aku samaan pesan milkshake stroberi dan Mas Devan nggak pesan minum karena asyik ngegame.

Keselek biar tau rasa dia. Hmm.

"Dek, bentar lagi kamu kuliah. Udah kepikiran kuliah dimana?" Mas Jae ini mulutnya pengen aku sumpel. Nggak tahu apa masalah ini jadi bahasan sensitif bagi siswa kelas tiga SMA kayak aku ini.

"Mas, makan dulu deh. Arin lagi males bahas ginian."

"Dek, bener tuh kata Mas Jae. Udah harus dipikirin, lah. Jangan santai santai. Mau kamu kayak masmu yang itu? Main game aja kerjaannya akhirnya apa? Gagal semua." timpal Surya.

"Nggak apa apa, Dek. Ntar nek kon gak mlebu SNMPTN, ayo ambek aku melok SBMPTN. Tak kancani." kata Mas Devan yang masih asyik main game tanpa melihat ke arah kami.

Kurang lebih artinya begini, "Ntar kalau kamu nggak masuk SNMPTN, ayo sama aku ikut SBMPTN. Tak temani."

Mas Devan berulang kali dipaksa kuliah setelah di Drop Out kampusnya karena terlalu sibuk ngurusin bisnis Cafenya dan juga.....main game.

Ayah nggak bisa marah karena Cafe itu memang bisnis Mas Devan yang memberikan keuntungan besar. Cafenya selalu ramai.

Jika Mas Jae, Mas Surya, Mas Ian, dan Mas Wirya bekerja di perusahaan milik Ayah, maka Mas Devan berbeda. Anak itu memilih jalannya sendiri. Membuka bisnis dengan teman-temannya dari nol dan bikin Ayah bangga.

Tapi kemudian kecewa karena Mas Devan lebih sering nongkrong di Cafenya daripada belajar di kampus dan jangan lupa dengan hobinya...main game.

"Mau kuliah lagi, Dev?" tanya Mas Wirya ke Mas Devan setelah sebelumnya asyik nyedotin semua pesanan minuman. Iya, dicobain satu satu. Dari teh herbal Mas Surya sampai kopinya Mas Ian dan Mas Jae. Punyaku juga tidak lupa dicobain. Padahal juga sama aja kayak punya dia.

"Doain, Mas. Kalau nggak males. Hehe." jawab Mas Devan yang langsung kena toyoran dari Mas Surya.

"Pokoknya cepetan deh, Dek. Dipikirin. Biar nanti nggak nyesal. Kalau kamu maunya gampang sih kerja aja di perusahaan Ayah kayak kita. Tapi akhir-akhir ini dibutuhin S1 Akuntansi sama Ekonomi. Mau kuliah Ekonomi atau Akuntansi?" tanya Mas Ian yang dia sendiri lulusan kuliah bisnis.

Aku menggeleng cepat.

"Alah, gausa peduliin, Dek. Mas Jae sama Mas Wirya anak musik aja bisa masuk tuh jadi staff." kata Mas Wirya.

Mas Ian melotot ke Mas Wirya.

"Duhhhh, iya iya. Nanti Arin pikirin lagi. Udah cukup!" kataku menutup kedua telingaku.

Aku Panggil Mereka : Mas! Where stories live. Discover now