21. Too late?

2.8K 721 30
                                    

"Apa jangan-jangan kalian udah kebobolan?"

Pertanyaan itu sukses memecah keheningan di ruang tamu malam itu. Aku, Mas Wirya, dan Mas Surya yang sedari tadi menguping juga ikutan deg-degan waktu menunggu jawaban Mas Ian atau calonnya atas pertanyaan Mas Jae barusan.

"Dikira lagi main sepak bola apa, Mas," jawab Mas Ian.

"Serius, Yan. Aku takon serius," kata Mas Jae.

"Yo ora talah," kata Mas Ian lagi.

Tanpa sadar aku, Mas Wirya, dan Mas Surya barengan ambil nafas panjang.

"Ya terus kenapa harus buru-buru?"

"Mas, aku mikirnya kan udah waktunya untuk serius. Capek juga kalau harus putus-nyambung mulu. Capek aku mas dicap buaya."

Aku melihat Mas Ian menggenggam tangan si ceweknya, "Aku mau serius. Tak harap Mas Jae bisa paham rasanya."

"Intinya sih Mas Ian minta bantuannya Mas Jae buat ngomong sama Ayah," bisik Mas Wirya seperti mendapat poin dari kalimat yang diucapkan Mas Ian barusan.

Wah, sulit nih.







•••








"Dek?"

Aku menoleh.

Ada Mas Jae yang duduk sambil mainin kuku di sebelahku, "Apa?"

"Masa mas bakalan disalip sama Ian sih?"

Aku menatap Mas Jae kayak, 'Dia kesurupan apaan sampai bicaranya jadi sok imut begini?'

"Gak rela, ih!" ucapnya dengan bibir cemberut.

"Ya mau gimana lagi? Yang udah ada calon, kan Mas Ian. Mas Jae udah ada calon belum?" kataku santai.

"Calon apaan? Nggak ada," balasnya.

"Ya makanya jangan terlalu pemilih dong. Mau cari pacar apa mau jadi juri kontes kecantikan sih," kataku sambil menyalakan televisi.

Mas Jae merubah posisi duduknya menjadi lebih tegak. Dari bau-baunya sih pasti mau protes alias ngajak debat.

Beneran dong. Nih dengerin siraman rohani by Jaenuddin.

"Ya kalau mau cari calon harus yang bener dong, Dek. Harus diseleksi. Soalnya bakalan nemenin dari hidup sampai mati alias sehidup semati. Kalau mau asal-asalan mah dari aku puber aku udah nikah," katanya panjang lebar.

"Terus apa Mbak Jamie itu asal-asalan?" kataku, skak mat. Mas Jae langsung diam.

"Masalah itu ya?" Dia langsung lemes lagi.

"Jujur mas tuh masih ragu soalnya udah kenal Jamie dari dia masih ingusan. Lucu nggak sih kalau misal nanti kita ubah status jadi temen ke pacar?"

"LUCU BANGET," kataku semangat.

Aku menoleh ke Mas Jae yang kini jadi diam, "Nggak mau jalanin aja dulu emangnya? Mbak Jamie itu udah lama banget suka sama mas. Aku bukannya sok tahu sih tapi sebagai sesama perempuan aku kadang lihat Mbak Jamie tuh udah hampir nyerah buat yakinin Mas Jae. Tiap main ke rumah Mas Jae responnya biasa banget. Mbak Jamienya udah usaha banyak loh. Dia baik, pinter, asik lagi. Kurang apa lagi?"

Mas Jae menatapku, "Iya sih...."

"Tunggu apa lagi?" kataku.








•••





Bonus.

Jae sudah rapi duduk di pojokan Cafe. Dia sudah mengirim pesan ke Jamie bahwa dia pengen makan siang bareng cewek itu. Cowok itu sengaja memilih duduk di pojokan soalnya enak aja nggak keganggu sama lalu-lalang orang lewat.

Berulang kali dia menatap pantulan wajahnya lewat layar HP, "Udah ganteng belum?"

Benar kata adiknya, sudah waktunya untuk serius. Nggak ada salahnya buat dicoba untuk jalani aja dulu. Siapa tahu perasaan ragu ini bakalan hilang dengan sendirinya ketika Jae sudah mencoba untuk serius dengan Jamie.

Awal perkenalannya dengan Jamie sangat tidak terduga. Waktu itu Jae udah mahasiswa semester akhir dan Jamie masih maba. Mereka satu jurusan kuliah. Mereka dipertemukan dalam satu UKM yang sama, musik. Jae denger dari banyak temennya kalau ada mahasiswa baru yang suaranya mantap banget. Maka Jae penasaran. Setelah cari tahu ternyata namanya Jamie. Dan beneran Jae dengar sendiri kalau suaranya bagus banget.

Pas Jae lagi main-main ke sekret, dia gitaran sambil overthinking perkara skripsi, Jamie datang. Mereka kenalan. Terus ternyata nyambung obrolannya. Di mata Jae, Jamie anaknya memang asik. Kedekatan mereka pun berlanjut sampai Jae berhasil wisuda. Jamie salah satu penyemangat Jae untuk selesaiin skripsi. Kalau Jae males, Jamie bakalan ngeledekin Jae sampai cowok itu gerah sendiri.

Level pertemanan mereka udah sampai dimana mereka udah nggak ada kata jaim-jaiman. Bahkan Jamie berani manggil Jae tanpa embel-embel 'Kak' atau 'Mas' dan Jae nggak masalah. Sampai pada akhirnya ketika mereka secara random teleponan di jam dua pagi, Jamie mengakui perasaannya ke Jae.

"Ngantuk ya? Udahan aja," kata Jae saat itu.

"Gue serius. Lo pernah denger nggak kalau ngobrol di jam segini tuh kita nggak bisa bohong? Nah, gue udah jujur sama perasaan gue sendiri. Jae, I want you to see me as a girl too."

Jae benar-benar speechless.

"Please tell me, you can, right?"

"Jamie, you are my friend. One of my best friends. Why all of a sudden ...?"

"Ah, I'm just a friend, right? Sorry...."

Jae jadi serba salah karena ini sangat mendadak untuknya. Karena selama ini Jae sama sekali nggak menyangka Jamie akan begini. Untuknya Jamie itu teman terbaiknya bahkan jika ingin disebut 'lebih dari itu' Jae akan menjadikannya lovely sister like he loves Arin so much.

Sejak pengakuan mendadak malam itu di jam dua dini hari, Jamie tidak menjauhi Jae seperti kebanyakan perempuan. Dia tetap bersikap biasa seolah tidak ada yang terjadi. Maka dari itu Jae juga berusaha sebisa mungkin untuk memperlakukan Jamie seperti biasa.

Itu udah lama banget tapi Jae nggak bisa lupa. Tapi kali ini dengan naluri seorang lelaki, Jae ingin menerima perasaan Jamie.

"Sorry ya gue telat."

Jae tersadar dari lamunannnya.

"Eh?"

"Udah pesen makan, belum?" tanya Jamie lalu duduk di depan Jae.

Jae menatap Jamie. Benar sih kata Arin. Jamie kalau dilihat dari dekat memang cantik. Gemes gitu.

"Jae, are you OK?" tanyanya.

"Hah? Oh? I'm OK. Hehehe."

"Gue jadi parno deh. Lo mau ngeprank gue ya?" kata Jamie celingukan berusaha nyari sesuatu yang misterius.

"Dikira gue kurang kerjaan apa pakai acara ngeprank segala," balas Jae.

"Ya bisa aja," kata Jamie, "Lo kan anaknya kadang unexpected gitu."

Jae mencibir, "Nyenyenyenye."

"Nah, kan ngeselin," kata Jamie.

Mereka tuh ya belum apa-apa udah tubir.

"Kok bisa ya dulu gue naksir sama lo?" kata Jamie sambil geleng-geleng kepala.

DEG.

Jae langsung diam.

"Emang sekarang udah nggak lagi?" kata Jae.

Jamie melirik Jae sebentar terus dia lanjut baca buku menu.

"Kok nggak dijawab?" kata Jae lagi.

"Udah ah capek," kata Jamie, "Gue lagi pengen makan mie ayam jamur deh. Lo mau makan apa?"

Udah, ah capek.

Jae langsung terdiam di posisinya.

Apakah dirinya sudah terlambat?

Aku Panggil Mereka : Mas! Where stories live. Discover now